Jumat, 18 Maret 2011

Bahaya Kholwat

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لا يخلون أحدكم بامرأة فإن الشيطان ثالثهما

Janganlah salah seorang dari kalian berkhalwat dengan seorang wanita karena sesungguhnya syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.[1]
ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يخلون بامرأة ليس معها ذو محرم منها فإن ثالثهما الشيطان

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada mahrom wanita tersebut, karena syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua.[2]

لا يخلون رجل بامرأة إلا مع ذي محرم فقام رجل فقال يا رسول الله امرأتي خرجت حاجة واكتتبت في غزوة كذا وكذا قال ارجع فحج مع امرأتك

Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kacuali jika bersama dengan mahrom sang wanita tersebut". Lalu berdirilah seseorang dan berkata, "Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk berhaji, dan aku telah mendaftarkan diriku untuk berjihad pada perang ini dan itu", maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Kembalilah!, dan berhajilah bersama istrimu"[3]

Apa maksud perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam "syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua"?

Berkata Al-Munawi, :"Yaitu syaitan menjadi penengah (orang ketiga) diantara keduanya dengan membisikan mereka (untuk melakukan kemaksiatan) dan menjadikan syahwat mereka berdua bergejolak dan menghilangkan rasa malu dan sungkan dari keduanya serta menghiasi kemaksiatan hingga nampak indah di hadapan mereka berdua, sampai akhirnya syaitan pun menyatukan mereka berdua dalam kenistaan (yaitu berzina) atau (minimal) menjatuhkan mereka pada perkara-perkara yang lebih ringan dari zina yaitu perkara-perkara pembukaan dari zina yang hampir-hampir menjatuhkan mereka kepada perzinaan."[4]

Berkata As-Syaukani, "Sebabnya adalah lelaki senang kepada wanita karena demikanlah ia telah diciptakan memiliki kecondongan kepada wanita, demikian juga karena sifat yang telah dimilikinya berupa syahwat untuk menikah. Demikian juga wanita senang kepada lelaki karena sifat-sifat alami dan naluri yang telah tertancap dalam dirinya. Oleh karena itu syaitan menemukan sarana untuk mengobarkan syahwat yang satu kepada yang lainnya maka terjadilah kemaksiatan."[5]

Imam An-Nawawi berkata, "…Diharamkannya berkhalwat dengan seorang wanita ajnabiah dan dibolehkannya berkholwatnya (seorang wanita) dengan mahramnya, dan dua perkara ini merupakan ijma' (para ulama)"[6]

Apakah yang dimakasud dengan mahram??

Berkata As-Suyuthi, "Para sahabat kami (para pengikut madzhab Syafi'i) mengatakan, 'Mahrom adalah wanita yang diharamkan untuk dinikahi untuk selama-lamanya baik karena nasab maupun dikarenakan sebab tertentu yang dibolehkan dan dikarenakan kemahraman wanita tersebut"[7]

Dari  definisi ini maka diketahui bahwa
1.      (wanita yang diharamkan untuk dinikahi), maka bukanlah mahrom anak-anak paman dan anak-anak bibi (baik paman dan bibi tersebut saudara sekandung ayah maupun saudara sekandung ibu)
2.      (untuk selama-lamanya), maka bukanlah mahrom saudara wanita istri dan juga bibi (tante) istri (baik tante tersebut saudara kandung ibu si istri maupun saudara kandung ayah si istri) karena keduanya bisa dinikahi jika sang istri dicerai, demikian juga bukanlah termasuk mahrom wanita yang telah ditalak tiga, karena ia bisa dinikahi lagi jika telah dinikahi oleh orang lain kemudian dicerai. Demikian juga bukanlah termasuk mahram wanita selain ahlul kitab (baik yang beragama majusi, budha, hindu, maupun kepercayaan yang lainnya) karena ia bisa dinikahi jika masuk dalam agama Islam
3.      (dikarenakan sebab tertentu yang dibolehkan), maka bukanlah mahrom ibu yang dijima'i oleh ayah dengan jima' yang syubhat (tidak dengan pernikahan yang sah) dan juga anak wanita dari ibu tersebut. Ibu tersebut tidak boleh untuk dinikahi namun ia bukanlah mahrom karena jima' syubhat tidak dikatakan boleh dilakukan
4.      (dikarenakan kemahroman wanita tersebut), maka bukan termasuk mahrom wanita yang dipisah dari sauaminya karena mula'anah[8], karena wanita tersebut diharamkan untuk dinikahi kembali oleh suaminya yang telah melaknatnya selama-lamanya namun bukan karena kemahroman wanita tersebut namun karena sikap ketegasan dan penekanan terhadap sang suami.[9]

Dan jika telah jelas bahwa sang wanita adalah mahromnya maka tidak boleh baginya untuk menikahinya dan boleh baginya untuk memandangnya dan berkhalwat dengannya dan bersafar menemaninya, dan hukum ini mutlak mencakup mahrom yang disebabkan karena nasab atau karena persusuan atau dikarenakan pernikahan.[10]

Peringatan:

Berkata Imam An-Nawawi, "Yang dimaksud mahram dari sang wanita ajnabiah yang jika ia berada bersama sang wanita maka boleh bagi seorang pria untuk duduk (berkhalwat) bersama wanita ajnabiah tersebut, disyaratkan harus merupakan seseorang yang sang pria ajnabi sungkan (malu/tidak enak hati) dengannya. Adapun jika mahrom tersebut masih kecil misalnya umurnya dua atau tiga tahun atau yang semisalnya maka wujudnya seperti tidak adanya tanpa ada khilaf."

Apakah yang dimaksud dengan khalwat?

Anas bin Malik berkata, جاءت امرأة من الأنصار إلى النبي  صلى الله عليه وسلم  فخلا بها فقال والله إنكم لأحب الناس إلي

"Datang seorang wanita dari kaum Ansor kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkhalwat dengannya, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Demi Allah kalian (kaum Anshor) adalah orang-orang yang paling aku cintai"[12]

Imam Al-Bukhori memberi judul hadits ini dengan perkataannya,

باب ما يجوز أن يخلو الرجل بالمرأة عند الناس

"Bab : Dibolehkannya seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita jika di hadapan khalayak"

Ibnu Hajar berkata, "Imam Al-Bukhori menyimpulkan hukum (dalam judul tersebut dengan perkataannya) "dihadapan khalayak" dari perkataan Anas bin Malik dari riwayat yang lain[13] "Maka Nabipun berkhalwat dengannya di sebagian jalan atau sebagian السكك (sukak)". Dan السكك, adalah jalan digunakan untuk berjalan yang biasanya selalu dilewati manusia"

Ibnu Hajar berkata, "Yaitu ia tidak berkhalwat dengan wanita tersebut hingga keduanya tertutup dari pandangan khalayak (tersembunyi dan tidak kelihatan-pen), namun maksudnya dibolehkan khalwat jika (mereka berdua kelihatan oleh khalayak) namun suara mereka berdua tidak terdengar oleh khalayak karena ia berbicara dengannya perlahan-lahan, contohnya karena suatu perkara yang wanita tersebut malu jika ia menyebutkan perkara tersebut di hadapan khalayak"

Ibnu Hajar menjelaskan bahwasanya ada khalwat yang diharamkan dan ada khalwat yang diperbolehkan,

1.      Khalwat yang diperbolehkan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersama wanita tersebut, yaitu memojok dengan suara yang tidak di dengar oleh khalayak namun tidak tertutup dari pandangan mereka. Hal ini juga sebagaimana penjelasan Al-Muhallab, "Anas tidak memaksudkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkhalwat dengan wanita tersebut hingga tidak kelihatan oleh orang-orang sekitar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala itu, namun Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkhalwat dengan wanita tersebut hingga orang-orang disekitarnya tidak mendengar keluhan sang wanita dan pembicaraan yang berlangsung antara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan wanita tersebut. Oleh karena itu Anas mendengar akhir dari pembicaraan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan wanita tersebut lalu iapun menukilnya (meriwayatkannya) dan ia tidak meriwayatkan pembicaraan yang berlangsung antara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan wanita itu karena ia tidak mendengarnya"[14]

2.      Khalwat yang diharamkan adalah khalwat (bersendiriannya) antara lelaki dan wanita sehingga tertutup dari pandangan manusia.[15]

Syaikh Sholeh Alu Syaikh berkata:

((والخلوة المحرمة هي ما كانت مع إغلاق لدار أو حجرة أو سيارة ونحو ذلك أو مع استتار عن الأعين، فهذه خلوة محرمة وكذا ضبطها الفقهاء))

"Dan khalwat yang diharamkan adalah jika disertai dengan menutup (mengunci) rumah atau kamar atau mobil atau yang semisalnya atau tertutup dari pandangan manusia (khalayak). Inilah khalwat yang terlarang, dan demikianlah para ahli fikh mendefinisikannya."[16]

Jadi khalwat yang diharamkan ada dua bentuk sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Sholeh Alu Syaikh. Dan bukanlah merupkan kelaziman bahwa ruangan yang tertutup melazimkan juga tertutupnya dari pandangan khalayak.

Jika ada yang mengatakan, "Berdasarkan definisi khalwat yang diharamkan di atas maka berdua-duaannya seorang wanita dan pria di emperan jalan-jalan raya bukanlah khalwat yang diharamkan karena semua orang memandang mereka'??,

Memang benar hal itu bukanlah merupakan khalwat yang diharamkan, namun ingat di antara hikmah diharamkan khalwat adalah karena khalwat merupakan salah satu sarana yang mengantarakan kepada perbuatan zina, sebagaimana mengumbar pandangan merupakan awal langkah yang akhirnya mengantarkan pada perbuatan zina. Oleh karena itu bentuk khalwat yang dilakukan oleh kebanyakan pemuda meskipun jika ditinjau dari hakikat khalwat itu sendiri bukanlah khalwat yang diharamkan, namun jika ditinjau dari fitnah yang timbul akibat khalwat tersebut maka hukumnya adalah haram. Para pemuda-pemudi yang berdua-duaan tersebut telah jatuh dalam hal-hal yang haram lainnya seperti saling memandang antara satu dengan yang lainnya, sang wanita mendayu-dayukan suaranya dengan menggoda, belum lagi pakaian sang wanita yang tidak sesuai dengan syari'at, dan lain sebagaianya yang jauh lebih parah. Khalwat yang asalnya dibolehkan ini namun jika tercampur dengan hal-hal yang haram ini maka hukumnya menjadi haram. Khlawat yang tidak aman dari munculnya fitnah maka hukumnya haram.

Ibnu Hajar berkata, "Hadits ini (yaitu hadits Anas di atas) menunjukan akan bolehnya berbincang-bincang dengan seorang wanita ajnabiah (bukan mahram) dengan pembicaraan rahasia (diam-diam), dan hal ini bukanlah celaan terhadap kehormatan agama pelakunya jika ia aman dari fitnah. Namun perkaranya sebagaimana perkataan Aisyah وأيكم يملك إربه كما كان النبي يملك إربه  "Dan siapakah dari kalian yang mampu menahan gejolak nafsunya sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bisa menahan syahwatnya"[17]

Sa'id bin Al-Musayyib berkata, : لقد بلغت ثمانين سنة وأنا أخوف ما أخاف على النساء "Aku telah mencapai usia delapan puluh tahun dan yang paling aku takutkan adalah para wanita"[18]

Dalam riwayat yang lain dari Ali bin Zaid bin Jad'an bahwasanya Sa'id berkata,

ما أيس الشيطان من شيء الا أتاه من قبل النساء، ثم قال سعيد (وهو بن أربع وثمانين سنة وقد ذهبت احدى عينيه وهو يعشى بالأخرى) ما من شيء أخوف عندي من النساء

"Tidaklah syaitan berputus asa dari (menggoda) sesuatu kecuali ia mencari jalan keluar dengan mempergunakan para wanita (sebagai senjatanya untuk menggoda)", Ali bin Zaid bin Jad'an berkata, "Kemudian Sa'id berkata (padahal waktu itu ia telah berumur 84 tahun dan matanya yang satu tidak bisa digunakan untuk melihat lagi, dan mata yang satunya lagi rabun) :Tidak ada sesuatu yang lebih aku takutkan daripada para wanita"[19]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, :

مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

Tidak pernah aku tinggalkan fitnah yang lebih berbahaya terhadap kaum pria daripada finah para wanita.[20]

Abdurrouf Al-Munawi mengomentari hadits ini, ((Hal ini dikarenakan seorang wanita tidaklah menyuruh suaminya kecuali kepada perkara-perkara yang buruk, dan tidak memotivasinya kecuali untuk melakukan keburukan, dan bahaya wanita yang paling minimal adalah ia menjadikan suaminya cinta kepada dunia hingga akhirnya binasa dalam dunianya, dan kerusakan apa yang lebih parah dari hal ini, belum lagi wanita adalah sebab timbulnya mabuk asmara dan fitnah-fitnah yang lainnya yang sulit untuk dihitung.

Ibnu Abbas berkata, لم يكفر من كفر ممن مضى إلا من قبل النساء وكفر من بقي من قبل النساء "Tidaklah kafir orang-orang terdahulu kecuali dikarenakan para wanita dan demikian juga dengan orang-orang yang di masa mendatang".

Para raja mengirimkan hadiah-hadiah kepada para ahli fikh maka merekapun menerima hadiah tersebut, adapun Fudhail ia menolak hadiah tersebut. Istrinyapun berkata kepadanya, "Engkau menolak sepuluh ribu (dinar atau dirham) padahal kita tidak memiliki makanan untuk dimakan pada hari ini?", Fudhailpun menimpali, "Permisalan antara aku dan engkau (wahai istriku) sebagaimana suatu kaum yang memiliki seekor sapi yang mereka membajak dengan menggunakan sapi tersebut, tatkala sapi tersebut telah tua maka merekapun menyembelihnya. Demikianlah aku, kalian engkau ingin menyembelihku setelah aku mencapai usia senja, lebih baik engkau mati dalam keadaan lapar sebelum engkau menyembelih Fudhail"))[21]

Dari Imron bin Abdillah, Sa'id bin Al-Musayyib berkata, ما خفت على نفسي شيئا مخافة النساء "Tidaklah aku takut pada sesuatu menimpa diriku sebagaimana ketakutanku kepada (fitnah) para wanita", para sahabat beliau berkata, يا أبا محمد إن مثلك لا يريد النساء ولا تريده النساء قال هو ما أقول لكم "Wahai Abu Muhammad, orang yang sepertimu tidak menghendaki para wanita dan para wanitapun tidak menghendakinya!". Sa'id berkata, "Kenyataannya sebagaimana yang telah aku katakan kepada kalian"[22]

'Ato' berkata, لو ائتمنت على بيت مال لكنت أمينا ولا آمن نفسي على أمة شوهاء "Jika aku diberi kepercayaan untuk menjaga baitul mal (tempat penyimpanan harta kaum muslimin) maka aku akan menjalankan amanah tersebut, namun aku tidak bisa menjamin diriku dari seorang budak wanita yang cantik"

Imam Ad-Dzahabi mengomentari perkataan 'Ato ini, صدق رحمه الله ففي الحديث ألا لايخلون رجل بامرأة فإن ثالثهما الشيطان "Sungguh benar perkataan 'Ato' –semoga Allah merahmati beliau- sebagaimana telah disebutkan dalam hadits, "Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita karena syaitan menjadi orang ketiga diantara mereka berdua"[23]

Maka sungguh benarlah perkataan Ahmad bin 'Ashim Al-Anthoki (beliau meninggal tahun 239 H), من كان بالله أعرف كان منه أخوف  "Barangsiapa yang lebih mengenal Allah maka ia akan lebih takut kepada Allah"[24]. Lihatlah para salaf seperti Sa'id bin Al-Musayyib yang tidaklah pernah dikumandangkan adzan selama empat puluh tahun kecuali Sa'id telah berada di masjid[25], demikian juga 'Ato yang Ibnu Juraij berkata tentangnya, كان المسجد فراش عطاء عشرين سنة وكان من أحسن الناس صلاة "Masjid adalah tempat tidur 'Ato' selama dua puluh tahun, dan beliau adalah orang yang paling baik sholatnya"[26]. Dengan ibadah mereka yang luar biasa tersebut maka mereka lebih mengenal Rob mereka shingga mereka lebih takut kepada Allah, takut kalau diri mereka terjerumus dalam kemaksiatan. Tidak sebagaimana halnya sebagian kaum muslimin yang merasa percaya diri untuk terselamatkan dari fitnah, apalagi fitnah yang sangat berbahaya yaitu fitnah wanita???

Dan diharamkan berkhalwatnya seseorang dengan lawan jenisnya yang bukan merupakan mahromnya, dan hal ini umum mencakup seluruh bentuk, dan sama saja apakah disertai nafsu syahwat ataupun tidak, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang berkhalwat secara mutlak baik disertai syahwat maupun tidak.

قيل له أن بعض الناس يجالس النسوان ويقول أنا معصوم في رؤيتهن فقال ما دامت الأشباح باقية فإن الأمر والنهي باق والتحليل والتحريم مخاطب بهما ولن يجترئ على الشبهات إلا من يتعرض للمحرمات

Dikatakan kepada Abul Qosim An-Nasr Abadzi, "Sebagian orang duduk (bergaul) dengan para wanita dan mereka berkata, "Saya bisa terjaga untuk tidak memandang mereka". Iapun berkata, "Selama jasad masih utuh maka perintah dan larangan juga tetap berlaku dan penghalalan dan pengharaman juga tetap ditujukan dengan keduanya (yaitu perintah dan larangan) dan tidaklah memberanikan diri kepada syubhat-syubhat kecuali orang yang menjerumuskan dirinya untuk jatuh dalam hal-hal yang haram"[27]


Peringatan:

1.      Diharamkan berkhalwatnya seorang wanita dengan hewan yang bisa tertarik dan bernafsu kepada seorang wanita seperti monyet, karena dikawatirkan terjadinya fitnah (hal yang tidak diinginkan) sebagaimana disebutkan oleh Ibnu 'Aqil dan Ibnul Jauzi, serta Syaikh Taqiyuddin.[28]

2.      Orang yang banci bersama seorang wanita hukumnya ia seperti seorang pria (maka berlaku hukum-hukum khalwat), dan demikian juga jika bersama banyak wanita. Dan jika bersama seorang pria maka ia hukumnya seperti seorang wanita, demikian juga jika ia bersama banyak lelaki, dalam rangka untuk berhati-hati[29]

3.      Berkhalwat dengan seorang amrod (anak muda yang belum tumbuh rambut wajahnya) yang berparas tampan hukumnya sebagaimana khalwat bersama seorang wanita, meskipun khalwat tersebut untuk kemaslahatan ngajar mengajar atau pendidikan . Imam Ahmad berkata kepada seseorang yang berjalan bersama seorang anak yang tampan yang merupakan keponakan orang tersebut; "Menurutku hendaknya engkau tidak berjalan bersamanya di jalan". Ibnul Jauzi berkatam "Para salaf berkata tentang amrod: "وهو أشد فتنة من العذارى" "Fitnahnya lebih besar daripada fitnah wanita perawan"[30]. Berkata Ibnu Katsir, "Banyak salaf yang mengatakan bahwa mereka melarang seorang pria menajamkan pandanganya (menatapi dengan serius) kepada amrod"[31]. Berkata Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyah), "Barangsiapa yang mengulangi pendangannya kepada amrod dan terus memandangnya lantas ia berkata "Aku tidak memandangnya dengan syahwat" maka ia telah berdusta"[32]. Berkata Imam An-Nawawi, "Imam As-Syafi'i menyatakan akan haramnya memandang (wajah) amrod, dan jika memandang saja haram maka berkhalwat dengan amrad lebih haram lagi karena hal itu lebih jelek dan lebih dekat kepada mafsadah dan hal yang dikawatirkan (jika berkhalwat bersama seorang wanita) juga ada (jika berkhalwat dengan amrod"

Hukum berkhalwatnya seorang pria dengan beberapa wanita tanpa mahram

Para ulama berselisih pendapat tentang hukum berkhalwatnya seorang pria dengan wanita ajnabiah jika jumlah wanita tersebut lebih dari satu, demikian juga sebaliknya (berkhalwatnya seorang wanita dengan beberapa lelaki ajnabi)

Berkata Imam An-Nawawi, "Tidak ada perbedaan tentang diharamkannya berkhalwat antara tatkala sholat maupun di luar sholat"[34]

Imam An-Nawawi berkata, "Berkata para sahabat kami (yang bermadzhab Syafi'i), jika seorang pria mengimami seorang wanita yang merupakan mahramnya dan berkhalwat dengannya maka tidaklah mengapa dan sama sekali tidak makruh karena boleh baginya untuk berkhalwat dengannya di luar shalat. Dan jika ia mengimami seorang wanita ajanabiah dan berkhalwat dengannya maka hukumnya adalah haram…dan jika ia mengimami banyak wanita yang ajnabiah dengan kondisi berkhalwat bersama mereka maka ada dua pendapat. Jumhur ulama berpendapat akan bolehnya hal itu…karena para wanita yang berkumpul biasanya tidak memungkinkan seorang laki-laki untuk berbuat sesuatu hal yang buruk terhadap salah seorang dari mereka dihadapan mereka. Imamul Haromain dan penulis buku Al-'Uddah menukil bahwasanya Imam As-Syafii menyatakan bahwa diharamkannya seorang pria mengimami beberapa wanita kecuali diantara wanita tersebut ada mahram pria tersebut atau istrinya. Dan Imam As-Syafii meyakinkan akan haramnya berkhalwatnya seorang pria dengan para wanita kecuali jika ada mahram pria tersebut bersama mereka"[35]

Renungkanlah betapa tegasnya Imam As-Syafii dalam pengharaman kholwat antara wanita dan pria, sampai-sampai beliau mengharamkan seorang laki-laki mengimami para wanita (dalam keadaan berkhalwat dengan mereka) kecuali jika ada diantara wanita tersebut mahrom sang imam atau istri sang imam. Padahal ini dalam keadaan beribadah yang sangat agung (yaitu sholat) yang tentunya orang yang sedang sholat jauh dari pikiran-pikiran yang kotor, selain itu sang imam pun berada di depan dan para wanita berada dibelakangnya sehingga ia tidak melihat mereka, namun demikian Imam Syafi'i tetap mengharamkan hal ini.

Berkata As-Sarkashi, "…Kemakruhan (atau keharoman) hal ini (menurut Imam As-Syafi'i-pen) tidak akan hilang hingga ada diantara para wanita tersebut mahrom mereka, sebagaimana dalam hadits Anas bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sholat mengimami mereka di rumah mereka, Anaspun berkata, "Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan aku dan seorang anak yatim di belakangnya (pada shaf pertama) dan menjadikan ibuku dan Ummu Sulaim di belakang kami"[36]. Karena dengan adanya mahram hilanglah kekhawatiran akan timbulnya fitnah, dan hal sama saja apakah mahrom tersebut adalah mahrom bagi semua wanita tersebut atau hanya merupakan mahram bagi sebagian mereka dan diperbolehkan sholat dalam seluruh keadaan tersebut, karena kebencian (terhadap khalwat tersebut) berada jika diluar sholat"[37]

Peringatan:

1.      Berkata Imam An-Nawawi, "Dan sama hukumnya tentang diharamkannya berkhalwat antara orang yang buta dengan orang yang bisa melihat" [38]

2.      Beliau juga berkata, "Ketahuilah bahwasanya mahram yang dengan keberadaannya bersama sang wanita membolehkan untuk duduk (berkhalwat) dengan sang wanita adalah sama saja baik mahram tersebut adalah mahram sang pria maupun mahram sang wanita, atau yang semakna dengan mahram seperti suami sang wanita atau istri sang pria, Wallahu A'lam"[39]

3.      Diharamkannya berkhalwatnya seorang wanita dengan seorang pria meskipun dengan alasan dalam rangka pengobatan kecuali bersama wanita tersebut mahram, atau suaminya, atau wanita tsiqoh (yang bisa dipercaya). Karena kenyataan yang banyak terjadi memang benar terkadang hanya terdapat dokter lelaki yang bisa menangani penyakit seorang wanita dengan penanganan yang baik dan terjamin walaupun karena darurat maka sang dokter harus melihat aurat wanita tersebut. Namun yang perlu diperhatikan tidak semua pengobatan keadaannya darurat yang mengharuskan tidak boleh sang wanita ditemani oleh mahramnya. Apalagi merupakan kenyataan yang menyedihkan banyak dari para wanita yang jika mereka bertemu dengan dokter pria maka seakan-akan dokter tersebut adalah mahramnya.


Hukum berkhalwatnya seorang wanita dengan beberapa lelaki (lebih dari satu orang)

عبد الله بن عمرو بن العاص حدثه أن نفرا من بني هاشم دخلوا على أسماء بنت عميس فدخل أبو بكر الصديق وهي تحته يومئذ فرآهم فكره ذلك فذكر ذلك لرسول الله  صلى الله عليه وسلم  وقال لم أر إلا خيرا فقال رسول الله  صلى الله عليه وسلم  إن الله قد برأها من ذلك ثم قام رسول الله  صلى الله عليه وسلم  على المنبر فقال لا يدخلن رجل بعد يومي هذا على مُغِيْبَةٍ إلا ومعه رجل أو اثنان

Dari Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash bahwasanya beberapa orang dari bani Hasyim masuk (menemui) Asma' binti 'Umais, lalu Abu Bakar masuk –dan tatkala itu Asma' telah menjadi istri Abu Bakar As-Siddiq- lalu Abu Bakar melihat mereka dan ia membenci hal itu, lalu iapun menyampaikan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan ia berkata, "Aku tidak melihat sesuatu kecuali kebaikan". Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Sesungguhnya Allah telah menyatakan kesuciannya dari perkara tersebut (perkara yang jelek)", kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar dan berkata, "Setelah hari ini tidaklah boleh seorang laki-laki menemui mughibah (yaitu seorang wanita yang suaminya sedang tidak berada di rumah) kecuali bersamanya seorang laki-laki (yang lain) atau dua orang"[40]

Yang dimaksud dengan mughibah adalah wanita yang suaminya sedang tidak berada di rumah, baik karena sedang bersafar keluar kota maupun keluar dari rumah namun masih dalam kota, dalilnya adalah hadits ini. Dikatakan bahwa Abu Bakar sedang tidak berada di rumah, bukan sedang keluar kota.[41]

Berkata Imam An-Nawawi, "Dzohir dari hadits ini menunjukan akan bolehnya berkhalwatnya dua atau tiga orang lelaki dengan seorang wanita ajnabiah, dan yang masyhur menurut para sahabat kami (yaitu penganut madzhab syafi'iah) akan haramnya hal ini. Oleh karena itu hadits ini (bolehnya berkhalwat) dibawakan kepada kepada sekelompok orang yang kemungkinannya jauh untuk timbulnya kesepakatan diantara mereka untuk melakukan perbuatan nista karena kesholehan mereka, atau muru'ah mereka dan yang lainnya"[42]

Adapun para ulama yang mengatakan akan bolehnya berkhalwatnya seorang wanita dengan beberapa lelaki mereka menyaratkan bahwa para lelaki tersebut merupakan orang-orang yang terpercaya dan tidak bersepakat untuk melakukan hal yang nista terhadap wanita tersebut.
Dan ini merupakan pendapat Syaikh Al-Albani.[43]

Berkata Imam An-Nawawi, "Adapun berkholwatnya dua orang lelaki atau lebih dengan seorang wanita maka yang masyhur adalah haramnya hal ini dikarenakan bisa jadi mereka para lelaki tersebut bersepakat untuk melakukan hal yang keji (zina) terhadap wanita itu. Dan dikatakan bahwa jika mereka adalah termasuk orang-orang yang jauh dari perbuatan seperti itu maka tidak mengapa."[44]


Peringatan:

1.      Diantara perkara yang dianggap remeh oleh masyarakat namun sangat berbahaya adalah berkhalwatnya kerabat suami (yang bukan mahram istri) dengan istrinya.

عن عقبة بن عامر أن رسول الله  صلى الله عليه وسلم  قال إياكم والدخول على النساء فقال رجل من الأنصار يا رسول الله أفرأيت الحمو قال الحمو الموت

Dari 'Uqbah bin 'Amir bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Waspadailah diri kalian dari masuk (menemui) para wanita!", lalu berkatalah seseorang dari kaum Anshor, "Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu dengan Al-Hamwu?", Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Al-Hamwu adalah maut (kematian)"[45]

Berkata Ibnu Hajar, "Larangan masuk (terhadap kerabat suami) untuk menemui para wanita menunjukan bahwa larangan untuk berkhalwat lebih utama untuk dilarang (min bab aula)"[46]

Imam Nawawi berkata, "Para ulama bahasa telah sepakat bahwa  الأحماء Al-Ahmaa' adalah karib kerabat suami seperti ayah, saudara laki-laki, keponakan laki-laki, sepupu, dan yang semisalnya, dan الأختان Al-Akhtan adalah karib kerabat dari istri, dan الأصهار Al-Ashhar mencakup keduanya (Al-Ahmam dan Al-Akhtaan)….dan yang dimaksud dengan Al-Ahmam disini adalah kerabat karib suami selain ayahnya dan anak-anaknya[47], karena mereka adalah mahram bagi sang istri dan boleh bagi mereka untuk berkhalwat dengannya dan mereka tidak disifati dengan maut, namun yang dimaksudkan di sini adalah saudara laki-laki sang suami, paman, sepupu, dan yang semisalnya yang bukan merupakan mahram bagi sang wanita dan kebiasaan masyarakat mereka menggampangkan hal ini (kurang peduli) dan membiarkan seseorang berkhalwat dengan istiri saudaranya. Inilah maut, dan kerabat seperti ini lebih utama untuk dilarang daripada laki-laki asing (yang tidak ada hubungan kerabat) [48]

Makna perkataan Al-Hamwu adalah maut (kematian)

Imam An-Nawawi berkata, "Maknaknya bahwa ketakutan terhadap Al-Hamwu lebih daripada terhadap yang lainnya, dan kerusakan lebih mungkin terjadi dan fitnah lebih besar karena memungkinkannya untuk sampai kepada sang wanita dengan tanpa diingkari. Berbeda dengan seseorang yang asing (yang tidak punya hubungan kerabat dengan suami)"

Berkata Ibnul 'Arabi, "Ini adalah ungkapan yang dikatakan oleh orang-orang Arab, sebagaimana dikatakan "Singa adalah maut (kematian)", yaitu bertemu dengannya seperti kematian". Berkata Al-Qodhi, "Maknanya bahwa berkhalwat dengan Al-Ahma' menjerumuskan kepada fitnah dan kebinasaan dalam agama, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun menjadikan perkara ini seperti kebinasaan, maka ungkapan seperti ini untuk penegasan dengan keras"[49]

Berkata Al-Qurthubi, "…(masuknya al-hamwu) menjerusmuskan sang wanita pada kematiannya dengan diceraikan oleh suaminya tatkala cemburu atau ia dirajam jika birzina dengan al-hamwu tersebut"[50]

2.      Berkata Imam An-Nawawi, "Dan dikecualikan dari pengharaman (semua bentuk berkhalwat) ini adalah kondisi-kondisi yang darurat seperti jika seorang pria mendapati seorang wanita ajnabiah yang tersesat di tengah daratan dan yang semisalnya, maka boleh baginya untuk menemani wanita tersebut bahkan hal itu wajib atasnya jika sang pria mengkhawatirkan keamanan dan kondisi sang wanita jika ia membiarkannya sendirian. Dan hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Dalil yang menunjukan akan hal ini adalah kisah Al-Ifk"[51]

Kota Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, 26 Maret 2006

Penulis: Ustadz Firanda Andirja, Lc, MA

Artikel www.muslim.or.id

Daftar Pustaka

1.        Fathul Bari, karya Ibnu Hajar Al-Asqolani, terbitan Darus Salam, cetakan pertama 1421 H

2.        Umdatul Qori, karya Badaruddin Al-'Aini, terbitan Dar Ihyaut Turots Al-'Arobi

3.        Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, karya An-Nawawi terbitan Daru Fikr

4.        Al-Minhaj syarh shahih Muslim, karya Imam An-Nawawi terbitan Dar Ihyaut Turots, cetakan ketiga

5.        An-Nihayah fi goribil hadits, karya Ibnul Atsir, terbitan Darul Ma'rifah, tahqiq Syaikh Kholil Ma'mun.

6.        Al-Mabsuth, karya As-Sarkhasi, terbitan Darul Ma'rifah

7.        Mukhatasor Al-Fatawa Al-Misriyah li Ibni Taimiyah, karya Badaruddin bin 'Ali Al-Hanbali, terbitan Dar Ibnul Qoyyim, tahqiq Muhammad Hamid Al-Faqi

8.        Siyar A'lam An-Nubala'karya Imam Adz-Dzahabi, tahqiq Al-Arnauth, terbitan Muassasah Ar-Risalah

9.        Syadzaratudz Dzahab karya Abdul Hay bin Ahmad, tahqiq Abdul Qodir Al-Arnauth, terbitan Dar Ibnu Katsir

10.     Kasyful Qina' karya Mansur bin yunus bin Idris Al-Bahuti, tahqiq Hilal Musthofa Hilal, terbitan Darul Fikr

11.     Faidul Qodir, karya Abdurrouf Al-Munawi, terbitan Al-Maktabah At-Tijariah

12.     Mawahibul Jalil karya Muhammad bin Abdirrahman Al-Magribi, terbitan Darul Fikr

13.     Al-Asybah wan Nadzoir karya As-Suyuthi terbitan Darul Kutub Ilmiyah

14.     Nailul Author karya As-Syaukani, terbitan Dar Al-Jail

15.     Al-Adab As-Syar'iah karya Ibnu Muflih terbitan tahqiq Syu'aib Al-Arnauth terbitan Muassasah Ar-Risalah

16.     Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir terbitan Matabah Al-Ma'arif

17.     At-Thobaqot Al-Kubro karya Muhammad bin Sa'd terbitan Dar Shodir

18.     Tahdzibut Tahdzib karya Ibnu Hajar, tahqiq Muhammad Awwamah, terbitan Dar Rosyid

19.     At-Thobaqoot As-Syafiiyah Al-Kubro karya As-Subki tahqiq DR Muhammad bin Mahmud At-Thonuhi, Terbitan Hajr

20.     Tafsir Ibnu Katsir

21.     Silsilah Al-Huda wan Nuur
————————-
[1] HR Ahmad 1/18, Ibnu Hibban (lihat shahih Ibnu Hibban 1/436), At-Thabrani dalam Al-Mu'jam Al-Awshoth 2/184 , dan Al-Baihaqi dalam sunannya 7/91. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah  1/792 no 430

[2]HR Ahmad dari hadits Jabir 3/339. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaul Golil jilid 6 no 1813

[3] HR Al-Bukhari no 5233 dan Muslim (2/975).

Faedah:

Kalau ada yang berkata, "Namun bagaimana dengan sebagian shohabiyat yang berhijrah dari Mekah ke Madinah tanpa mahram?",

Tidaklah boleh bagi seorang wanita untuk bersafar tanpa mahram kecuali tatkala hijrah dari Mekah ke Madinah karena keburukan dan bahaya yang ada di kota Mekah saat itu yang menyebabkannya lari lebih bahaya dan lebih buruk dari perkara yang ditakutkannya menimpa dirinya (jika ia bersafar tanpa mahram). Ummu Kaltsum binti 'Uqbah bin Abi Ma'ith dan para wanita yang lain telah berhijrah dari Mekah ke Madinah tanpa mahram. Demikian juga hadirnya seorang wanita dalam majelis persidangan di hadapan hakim tanpa mahram, hal ini adalah darurat karena dikawatirkan hilangnya hak penuntut. Demikian juga tatkala seorang wanita yang belum nikah melakukan perzinaan maka ia diasingkan tanpa mahramnya karena hal ini adalah hukuman had baginya. (Syarhul 'Umdah 2/177-178)

[4] Faidhul Qodir 3/78

[5] Nailul Autor 9/231

[6] Al-Minhaj 14/153

[7] Definisi ini juga dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 9/413, dan ini merupakan definisi Imam An-Nawawi, (Al-Minhaj 14/153) dimana beliau berkata: المحرم هو كل من حرم عليه نكاحها على التأبيد لسبب مباح لحرمتها

[8] Mawahibul Jalil 4/116

[9] Al-Asybah wan Nadzoir 1/261

[10] Al-Asybah wan Nadzooir 1/262

[11] Al-Majmu' 4/242

[12] HR Al-Bukhari no 5234 (Kitabun Nikah)

[13] Diantaranya diriwayatkan oleh Imam Muslim (4/1812):

عن أنس أن امرأة كان في عقلها شيء فقالت يا رسول الله إن لي إليك حاجة فقال يا أم فلان انظري أي السكك شئت حتى أقضي لك حاجتك فخلا معها في بعض الطرق حتى فرغت من حاجتها

Dari Anas bin Malik bahwasanya seorang wanita yang pikirannya agak terganggu berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Wahai Rasulullah, saya ada perlu denganmu", maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya, "Wahai Ummu fulan, lihatlah kepada jalan mana saja yang engkau mau hingga aku penuhi keperluanmu". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkhalwat dengan wanita tersebut di sebuah jalan hingga wanita tersebut selesai dari keperluannya"

[14] Fathul Bari 9/413. Adapun perkataan Imam Nawawi bahwa "kemungkinan wanita tersebut adalah mahram Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seperti Ummu Sulaim dan saudara wanitanya" (Al-Minhaj 16/68), maka kuranglah tepat karena sebagaimana dalam riwayat Imam Muslim bahwa wanita tersebut pikirannya agak terganggu, dan ini bukanlah merupakan sifat Ummu Sulaim.

[15] Berkata Al-Qodhi dalam Al-Ahkam As-Sulthoniah tentang sifat penegak amar ma'ruf nahi mungkar, "Jika ia melihat seorang pria yang berdiri bersama seorang wanita di jalan yang dilewati (orang-orang) dan tidak  nampak dari keduanya tanda-tanda yang mencurigakan maka janganlah ia menghardik mereka berdua dan janganlah ia mengingkari. Namun jika mereka berdua berdiri di jalan yang sepi maka sepinya tempat mencurigakan maka ia boleh mengingkari pria tersebut dan hendaknya ia jangan segera memberi hukuman terhadap keduanya khawatir ternyata sang pria adalah mahram sang wanita. Hendaknya ia berkata kepada sang pria –jika ternyata ia adalah mahram sang wanita- jagalah wanita ini dari tempat-tempat yang mencurigakan. -Dan jika ternyata wanita tersebut adalah wanita ajnabiah- hendaknya ia berkata kepada sang pria, "Aku ingatkan kepadamu dari bahaya berkhalwat dengan wanita ajnabiah yang bisa menjerumuskan engkau kepada kemaksiatan". Dan hendaknya tindakan tegasnya ia sesuaikan dengan tanda-tanda serta situasi dan kondisi.  Jika seorang penegak amr ma'ruf dan nahi mungkar melihat tanda-tanda seperti ini maka hendaknya ia bersabar, hendaknya ia memeriksa dan memperhatikan situasi dan kondisi dan tidak tergesa-gesa untuk mengingkari sebelum ia mencari kejelasan perkara" Al-Adab As-Syar'iyah 1/302

[16] Sebagaimana disampaikan oleh guru kami Syaikh Abdul Qoyyum As-Suhaibaani

[17] Fathul Bari 9/414

[18] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam musonnafnya 7/17, ia berkata, ""Telah menyampaikan kepada kami Aswad bin 'Amir, (ia berkata), "Telah menyampaikan kepada kami Hammad bin Salamah, dari Ali bin Zaid dari Sa'id bin Al-Musayyib…"

[19] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman 4/373 no 5452 dengan sanadnya hingga Ali bin Al-Madini dari Sufyan dari Ali bin Zaid bin Jad'an.

[20] HR Al-Bukhari no 5096 (Kitabun Nikah) dan Mulim no 97,98 (kitab Adz-Dzikir)

[21] Al-Faidul Qodir 5/436

[22] Diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad dalam At-Tobaqoot Al-Kubro (5/136) ia berkata, "Telah  mengabarkan kepada kami 'Amr bin 'Ashim, ia berkata, "Telah mengabarkan kepada kami Salam bin Miskin, ia berkata, "Telah menyampaikan kepada kami 'Imron bin 'Abdillah"

[23] Siyar A'lam An-Nubala" 5/87-88

[24] Al-Bidayah wan Nihayah 10/318, Bugyatut Tolab fi tarikh Al-Halab 2/750

[25] Tahdzibut Tahdzib 4/87

[26] Siyar A'lam An-Nubala" 5/84, Thdzibul Kamal 20/80, Tarikh Ibnu 'Asakir 40/392, Hilyatul Auliya' 3/310

[27] Syaradzatuz Dzahab 3/58, Tobaqoot As-Sufiah 1/364

[28] Kasyful Qina' 5/16

[29] Al-Majmu' 4/241

[30] Kasyful Qona' 5/16.

[31] Tafsir Ibnu Katsir, tafsir surat 24 ayat 30

[32] Matholib Ulin Nuha 5/19

[33] Al-Majmu' (4/241).

Hukum memandang amrod (Mukhtasor Al-Fatawa Al-Mishriyah 1/29-30):

Berkata Ibnu Taimiyah, "Memandang amrod dengan syahwat hukumnya haram dan ini merupakan ijma' (kesepakatan) kaum muslimin, demikian juga memandang kepada para wanita yang merupakan mahram (namun dengan syahwat) dan berjabat tangan dengan mereka serta berledzat-ledzat dengan mereka. Barangsiapa yang mengatakan bahwa hal ini adalah ibadah maka ia telah kafir, dan dia seperti orang yang menjadikan bantuan kepada orang yang ingin berbuat nista sebagai ibadah, bahkan memandang kepada pepohonan, kuda, dan hewan-hewan jika dengan perasaan menganggap indah dan baik dunia, kekuasaan dan kepemimpinan, serta harta benda, maka pandangan seperti ini tercela sebagaimana firman Allah:

?ولا تمدن عينيك إلى ما متعنا به أزواجا منهم زهرة الحياة الدنيا لنفتنهم فيه ورزق ربك خير وأبقى?

Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabbmu adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS. 20:131)

Adapun jika pandangan tersebut dengan perasaan tanpa merendahkan agama, namun dengan pandangan tersebut timbul rileks jiwa seperti memandang bunga-bunga maka ini termasuk kebatilan yang dimanfaatkan untuk kebenaran.

Terkadang seseorang memandang kepada orang lain karena keimanan dan ketakwaan yang dimiliki oleh orang yang dipandang tersebut maka pandangan yang seperti ini patokannya adalah hati dan amal orang yang dipandang tersebut bukan karena rupa orang itu.

Terkadang seseorang memandang orang tersebut karena keindahan rupa orang tersebut sehingga mengingatkan dia akan Dzat yang menciptakan rupa tersebut (yaitu Allah) maka pendangan seperti ini baik.

Terkadang seseorang memandang orang lain hanya karena keindahan rupanya

Maka masing-masing model memandang di atas kapan saja disertai dengan nafsu maka hukumnya haram tanpa diragukan lagi, sama saja apakah syahwat yang menimbulkan syahwat untuk berjima' ataupun tidak.

Dan berbeda antara perasaan seseorang tatkala memandang bunga-bunga dengan perasaannya tatkala memandang wanita dan amrod, dikarenakan perbedaan ini maka dibedakan juga dalam hukum syar'inya, maka jadilah memandang kepada amrod ada tiga macam:

1.        Jika pandangan tersebut disertai dengan syahwat maka hukumnya adalah haram

2.        Yang dibolehkan karena tidak disertai dengan syahwat seperti seseorang yang wara' yang memandang kepada putranya yang tampan dan putrinya yang cantik. Pandangan yang seperti ini tidak disertai dengan syahwat kecuali dilakukan oleh orang yang paling fajir. Kapan saja pandangan ini disertai dengan syahwat maka hukumnya adalah haram. Oleh karena itu barangsiapa yang hatinya tidak condong kepada amrod sebagaimana para sahabat, sebagaimana sebuah umat yang tidak pernah mengenal kemaksiatan yang nista ini. Seorang dari mereka tidak membedakan antara pandangannya kepada wajah amrod dengan pandangannya kepada putranya, putra tetangganya, anak kecil ajnabi. Sama sekali tidak terbetik dihatinya syahwat, karena ia tidak terbiasa dengan hal itu, hatinya bersih. Budak-budak wanita di zaman para sahabat keluar berjalan di jalan-jalan dalam keadaan terbuka wajah-wajah mereka dan mereka melayani (membantu) para lelaki dan hati-hati mereka dalam keadaan bersih. Kalau di negeri ini dan saat ini ada orang yang ingin membiarkan budak-budak wanitanya dari Turki berjalan di jalan-jalan maka  akan timbul kerusakan. Demikian pula dengan amrod-amrod yang tampan, tidak dibenarkan untuk keluar di tempat-tempat dan di waktu-waktu yang dikhawatirkan mereka akan terkena fitnah kecuali sebatas keperluan. Maka tidaklah mungkin pemuda amrod yang tampan berjalan santai atau duduk di tempat pemandian umun diantara lelaki asing…

3.        Hanyalah timbul perbedaan pendapat diantara para ulama pada jenis yang ketiga yaitu memandang kepada para amrod tanpa disertai syahwat, namun ada kekawatiran akan timbulnya gejolak syahwat, maka ada dua pendapat pada madzhab Imam Ahmad. Dan yang paling benar dari dua pendapat tersebut adalah pendapat yang juga merupakan pernyataan Imam As-Syafi'i dan yang lainnya yaitu tidak boleh.  Pendapat yang kedua boleh, karena yang merupakan asal adalah tidak timbulnya gejolak syahwat.. Pendapat pertamalah yang lebih benar.

Barangsiapa yang berlama-lama memandang amrod  lalu mengatakan bahwa ia tidak memandangnya dengan syahwat maka ia telah berdusta, karena kalau memang tidak ada sesuatu (yaitu syahwat) yang mendorongnya untuk terus memandang tentunya ia tidak akan memandang. Sesungguhnya ia tidak mengulangi pandangannya kepada amrod kecuali karena ada keledzatan yang terdapat dalam hatinya."

[34] Al-Majmu' 4/242

[35] Al-Majmu' 4/241

[36] HR Al-Bukhari 1/149,  Muslim 1/457

عن أنس بن مالك أن جدته مليكة دعت رسول الله  صلى الله عليه وسلم  لطعام صنعته له فأكل منه ثم قال قوموا فلأصل لكم قال أنس فقمت إلى حصير لنا قد اسود من طول ما لبس فنضحته بماء فقام رسول الله  صلى الله عليه وسلم  وصففت أنا واليتيم وراءه والعجوز من ورائنا فصلى لنا رسول الله  صلى الله عليه وسلم  ركعتين ثم انصرف

Dari Anas bin Malik ia berkata bahwasanya neneknya (yang bernama) Mulaikah mengundang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk memakan makanan yang telah dibuatnya untuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka Nabipun memakannya kemudian ia shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Marilah sholat aku akan mengimami kalian" Anas berkata, "Maka akupun mengambil sebuah tikar milik kami yang sudah menghitam karena telah lama dipakai lalu akupun memercikkan air pada tidak  tersebut.  Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri (untuk sholat) dan aku bersama seorang anak yatim berdiri satu saf dibelakang beliau ÷ dan orang yang tua (yaitu nenek beliau) de belakang kami. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sholat dua rakaat kemudian beliau berpaling (selesai dari sholat).

[37] Al-Mabshuth karya As-Sarkashi 1/166

[38] Al-Majmu' 4/242

[39] Al-Majmu' 4/242

[40] HR Muslim 4/1711, Shahih Ibnu Hibban 12/398

[41] Al-Minhaj 4/155

[42] Al-Minhaj 4/155

[43] Silsilah Al-Huda wan Nuur, kaset no 18

[44] Al-Majmu' 4/241

[45] HR Al-Bukhari no 5232

[46] Fathul Bari 9/411

[47] Adapun Al-Maziri, maka beliau menyatakan bahwa makna Al-Hamwu adalah bapak suami, dan pendapat inipun diikuti oleh Ibnul Atsir dalam An-Nihayah, namun dzahirnya Ibnul Atsir juga tidak membatasi makna Al-Hamwu pada bapak sang suami tapi ia memang Al-Hamwu itu adalah umum mencakup seluruh kerabat suami tanpa mengecualikan bapak dan anak-anak suami. Beliau berkata, Al-Hamwu, "Kerabat-kerabat suami" (An-Nihayah 1/440) Berkata Imam An-Nawawi, "Ini adalah pendapat yang rusak dan tertolak" (Al-Minhaj 14/154). Ibnu Hajar menjelaskan bahwa penafsiran dan penjelasan para imam menunjukan bahwa pendapat ini bukanlah pendapat yang rusak (Fathul Bari 9/412).

Al-Maziri mengisyaratkan bahwa disebutkannya bapak suami untuk dilarang masuk menemui mughibah sebagai peringatan bahwa pelarangan terhadap salain bapak suami terlebih lagi (Al-Fath 9412)

Ibnul Atsir berkata, "Jika menurut sang suami bahwa bapaknya adalah maut (jika masuk kedalam rumahnya dan ia dalam keadaan tidak di rumah) –padahal ia adalah mahram istrinya- bagaimana jika yang masuk adalah orang asing??!, maksudnya yaitu "Lebih baik ia (sang istri) mati saja dan janganlah ia  (sang istri) melakukannya (membiarkan ada yang masuk rumahnya tanpa kehadiran sang suami)"…, ia berkata, "Maknanya adalah berkhalwatnya Al-Hamwu bersama sang istri lebih berbahya daripada berkhalwat dengan orang asing, karena terkadang jika Al-Hamwu tersebut berbuat baik pada sang istri atau  mamintanya untuk melakukan perkara-perkara yang menurut suami adalah hal yang berat seperti mencari sesuatu yang diluar kemampuan sang suami maka jadilah rusaklah hubungan antara suam istri karena hal itu. Dan karena seorang suami tidak suka jika Al-Hamwu mengetahui urusan dalam keluarganya jika ia masuk dalam rumahnya" (An-Nihayah 1/440)

Ibnu Hajar mengomentari perkataan Ibnul Atsir ini, "Seakan-akan perkataannya Al-Hamwu maut yaitu mesti terjadi dan tidak mungkin mencegah sang istri dari masuknya Al-Hamwu, sebagaimana kematian itu tidak bisa dihindari. Dan pendapat yang terakhir ini dipilih oleh Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyah) dalam syarhul 'Umdah" (Al-Fath 9/413)

[48] Al-Minhaj 14/154.

[49] Perkataan kedua ulama ini dinukil oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Minhaj 14/154

[50] Umdatul Qori 20/214

[51] Majmu' 4/242

Senin, 07 Maret 2011

Hadits, Atsar dan Kisah Dha’if dan Palsu Seputar Tawassul (2): Atsar-Atsar Lemah dan Palsu

Atsar Pertama

عن ملك الدار- و كان خازن عمر- قال: أصاب الناس قحط في زمن عمر, فجاء رجل إلى قبر النبي صلى الله عليه و سلم فقال: با رسول الله استسق لإمتك فإنهم قد هلكوا, فأتى الرجل في المنام, فقيل له : ائت عمر ….الأثر

Dari Malik Ad Dar -beliau adalah bendahara Umar- dia berkata, "Pada zaman pemerintahan Umar manusia ditimpa kemarau, maka seorang lelaki mendatangi kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan berkata, "Wahai Rasulullah, mohonlah kepada Allah untuk menurunkan hujan pada umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa", kemudian orang tersebut bermimpi dan dikatakan kepadanya: "Pergilah ke Umar……" (Disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 2/397. Al Allamah Al Albani berkata dalam At Tawassul hal. 131, Atsar ini dha'if dikarenakan Malik Ad Daar itu majhul).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata (Qo'idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah hal. 19-20), "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para nabi sebelum beliau tidak pernah mensyariatkan untuk berdoa kepada malaikat, para nabi, dan orang shalih serta meminta syafaat dengan perantaraan mereka, baik setelah kematian mereka dan juga tatkala mereka gaib (yakni mereka tidak berada di hadapan kita walaupun masih hidup -pent). Maka seseorang tidak boleh mengatakan, "Wahai malaikat Allah syafa'atilah aku di sisi Allah, mintalah kepada Allah agar menolong kami dan memberi rezeki kepada kami atau menunjuki kami." Dan demikian pula tidak boleh dia mengatakan kepada para nabi dan orang shalih yang telah mati, "Wahai nabi Allah, wahai wali Allah, berdoalah kepada Allah untukku, mintalah kepada Allah agar memaafkanku." Juga seseorang tidak boleh mengucapkan, "Aku adukan kepadamu dosa-dosaku atau kekurangan rezekiku atau penguasaan musuh atasku atau aku adukan kepadamu si Fulan yang telah menzhalimiku." Tidak boleh pula dia mengatakan, "Aku adalah tamumu, aku adalah tetanggamu, atau engkau melindungi setiap orang yang meminta perlindungan padamu."

Seseorang tidak boleh menulis (hajatnya -pent) pada lembaran kertas kemudian menggantungkannya di sisi kuburan, tidak boleh bagi seseorang menulis di selembar kertas bahwa dia meminta perlindungan kepada si Fulan, kemudian membawa tulisan tersebut ke orang yang melakukannya dan begitu pula amalan-amalan semisal itu yang dilakukan ahli bid'ah dari kalangan ahlil kitab dan kaum muslimin, seperti yang dilakukan orang Nasrani di dalam gereja mereka dan seperti yang dilakukan ahlu bid'ah di sisi kuburan para nabi dan orang salih.

Inilah perkara-perkara yang diketahui secara pasti merupakan bagian dari agama Islam, dan dengan penukilan yang mutawatir dan ijma' kaum muslimin bahwa nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkan hal ini kepada umatnya, dan demikian pula para nabi sebelum beliau tidak pernah mensyariatkan sedikit pun dari hal tersebut. Tidak seorang pun dari sahabat nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik melakukan hal itu, dan tidak seorang pun dari para imam kaum muslimin yang menganjurkan hal tersebut, baik keempat imam mazhab dan (para imam) selain mereka. Tidak seorang pun dari mereka yang menyebutkan bahwa dianjurkan bagi seseorang dalam manasik hajinya untuk meminta kepada nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di sisi kuburan beliau agar mensyafa'atinya atau mendoakan umatnya atau mengadu kepada beliau tentang musibah dunia dan agama yang menimpa umatnya.

Para sahabat nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditimpa berbagai macam musibah setelah beliau wafat, terkadang dengan kemarau yang panjang, terkadang dengan kekurangan rezeki, ketakutan dan kuatnya musuh dan terkadang dengan dosa dan kemaksiatan. Tidak seorang pun dari mereka mendatangi kuburan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak juga kuburan Al Khalil dan para nabi kemudian berkata, "Kami mengadu kepadamu (atas) kemarau pada saat ini, atau kuatnya musuh." agar beliau menolong mereka atau mengampuni mereka. Bahkan hal ini dan yang serupa dengannya merupakan perkara bid'ah yang diada-adakan yang tidak pernah dianjurkan oleh para imam kaum muslimin. Dan hal tersebut bukanlah suatu kewajiban dan bukan pula suatu perkara yang dianjurkan menurut ijma' kaum muslimin.

Atsar Kedua

عن أبي الجوزاء أوس بن عبد الله, قال: فحط أهل المدينة قحطا شديدا, فشكو إلى عائشة, فقالت: انظروا إلى قبر النبي صلى الله عليه و سلم فاجعلوا منه كوا إلى السماء, حتى لا يكون بينه و بين السماء سقف. قالوا : فافعلوا, فمطرنا مطرا حتى نبت العشب, و سمنت الإبل, حتى تفتقت من الشحم, فسمى عام الفتق

Dari Abul Jauza' Aus bin Abdillah, dia berkata, "Penduduk Madinah pernah mengalami kemarau yang sangat dahsyat, kemudian mereka mengadu kepada Aisyah, maka dia berkata: "Pergilah ke kubur nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian buatlah lubang yang menghadap ke langit sehingga antara kubur dan langit tidak terhalang oleh atap." Mereka berkata, "Mari kita melakukannya." Maka hujan lebat mengguyur kami, sehingga rumput tumbuh lebat dan unta-unta menjadi gemuk dan menghasilkan lemak. Maka saat itu disebut Tahun Limpahan." (Dikeluarkan oleh Ad Darimi (1/56) nomor 92. Al Allamah Al Albani berkata dalam At Tawassul hal 139: "Dan (atsar) ini sanad(nya) dha'if tidak dapat digunakan sebagai hujjah dikarenakan tiga alasan…" kemudian beliau menyebutkan alasan tersebut, maka merujuklah kesana).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata (Lihat Ar Radd alal Bakri hal 68-74), "Dan riwayat dari Aisyah radhiallahu anha tentang membuka lubang kuburan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ke arah langit agar hujan turun tidak shahih dan tidak sah sanadnya. Di antara yang menjelaskan kedustaan atsar ini adalah bahwa selama Aisyah hidup rumah tersebut tidak memiliki lubang, bahkan keadaannya tetap seperti pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yakni sebagiannya diberi atap dan sebagian yang lain terbuka, sehingga sinar matahari masuk ke dalam rumah, sebagaimana riwayat yang ada dalam Shahihain dari Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam sedang melakukan shalat Ashar dan sinar matahari masuk ke kamar beliau, sehingga tidak nampak bayangan (Dikeluarkan oleh Bukhari nomor 521 dan Muslim nomor 611). Kamar tersebut tidak berubah hingga Walid bin Abdil Malik menambahkan kamar-kamar itu di masjid Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sejak saat itu kamar Nabi masuk ke dalam masjid. Kemudian di sekitar kamar Aisyah -yang di dalamnya terletak kuburan Nabi shallallahu alaihi wa sallam- dibangun tembok yang tinggi, dan sesudah itu dibuatlah lubang sebagai jalan bagi orang yang turun apabila ingin membersihkan."

Adapun adanya lubang saat Aisyah hidup, maka itu adalah kedustaan yang nyata. Seandainya benar, maka hal itu akan menjadi hujjah dan dalil bahwa orang-orang tersebut tidaklah berdoa kepada Allah dengan perantaraan makhluk, tidak bertawassul dengan mayat di dalam doa mereka, serta mereka tidak pula memohon kepada Allah dengan (perantaraan) orang yang sudah mati. Mereka hanyalah membukanya agar rahmat diturunkan kepadanya, dan di sana tidak terdapat doa memohon kepada Allah dengan perantaraannya (kubur atau mayat yang ada di kubur tersebut, yakni Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam -pent).

Bandingkan betapa beda 2 hal tersebut? Sesungguhnya makhluk hanya bisa memberikan manfaat kepada orang lain melalui doa dan amal shalihnya, oleh karenanya Allah senang jika seseorang bertawasul kepada-Nya dengan iman, amal shalih, shalawat dan salam kepada Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam, serta mencintai, menaati dan setia kepada beliau. Maka inilah perkara-perkara yang dicintai Allah agar kita bertawasul kepada-Nya dengan perkara-perkara tersebut.

Atsar Ketiga

عن علي بن ميمون, قال: سمعت الشفعي يقول: إني لأتبرك بأبي حنيفة, و أجيء إلى قبره في كل يوم-يعني زائرا- فإذا عرضت لي حاجة صليت ركعتين, و جئت إلى قبره, وسألت الله تعالى الحاجة عنده, فما تبعده عني حتى تقضى

Dari Ali bin Maimun, dia berkata, Aku mendengar Asy Syafi'i (Imam Syafi'i -pent) berkata, "Sungguh aku akan bertabarruk dengan Abu Hanifah, dan aku mendatangi kuburnya di setiap hari -yakni beliau berziarah ke kuburnya-. Maka jika aku memiliki hajat, aku melakukan shalat dua raka'at dan aku mendatangi kuburannya kemudian aku memohon kepada Allah ta'ala agar mengabulkan hajatku di samping kuburannya, dan tak lama berselang hajatku pun terkabul." Hikayat ini diriwayatkan oleh Al Khatib Al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (1/123) dari jalur Umar bin Ishaq bin Ibrahim, dia berkata: "Ali bin Maimun memberitakan kepada kami, dia berkata, 'Aku mendengar Asy Syafi'i mengatakan hal itu.'" (yakni riwayat di atas -pent).

Al 'Allamah Al Albani berkata dalam Silsilah Ahadits Adhdha'ifah wa Al Maudhu'at 1/31: "Riwayat ini dha'if bahkan (riwayat yang) bathil."

Ibnul Qoyyim berkata dalam Ighatsatul Lahfan 1/246, "Hikayat yang dinukil dari Imam Syafi'i -bahwa beliau berdoa di samping kuburan Abu Hanifah- merupakan suatu kedustaan yang nyata."

Al 'Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata dalam Silsilah Ahadits Adhdha'ifah wa Al Maudhu'at (1/31) hadits nomor 22, "Riwayat ini dha'if (lemah), bahkan bathil. Karena sesungguhnya Umar bin Ishaq bin Ibrahim tidak dikenal, dan tidak pernah disebut dalam kitab-kitab yang membahas tentang perawi hadits sedikit pun. Jika yang dimaksud Umar bin Ishaq adalah Amru bin Ishaq bin Ibrahim bin Hamid As Sakan Abu Muhammad At Tunisi, maka Al Khatib telah menyebutkan biografinya dan menyebutkan bahwasanya dia adalah penduduk Bukhara yang mendatangi Baghdad tahun 341 Hijriah dalam rangka hendak berhaji, dan beliau (Al Khatib) tidak menyebutkan jarh (celaan) dan ta'dil (rekomendasi) atas orang ini dalam kitabnya, maka orang ini statusnya majhul hal. Mustahil jika yang dimaksudkan adalah orang ini, karena Syaikhnya yakni Ali bin Maimun wafat pada tahun 247 Hijriah -berdasarkan pendapat yang paling jauh-, sehingga kematian keduanya berjarak sekitar 100 tahun, maka mustahil dia menjumpai Syaikhnya tersebut. Kesimpulannya, riwayat ini dha'if dan tidak ada bukti yang menunjukkan keshahihannya."

Penutup

Setelah engkau mengetahui sejumlah hadits, atsar dan kisah yang dha'if, palsu dan dusta tentang tawassul bid'ah yang dilakukan oleh ahlul bid'ah dan orang sesat. Maka waspadalah wahai kaum muslimin dan jangan terperdaya oleh kebohongan-kebohongan semacam ini! Bertawakallah kepada Zat Yang Maha Hidup dan tidak mati, sesungguhnya Dia berfirman,

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

"Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (QS. Ath Thalaq: 3)

Janganlah engkau menyeru dan berlindung melainkan kepada Allah semata.

Janganlah engkau meminta bantuan dan pertolongan melainkan kepada Allah semata.

Janganlah engkau beribadah (berdoa) kepada sesuatu pun di samping beribadah (berdoa) kepada Allah.

Saudaraku, jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau meminta pertolongan, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah, sekiranya seluruh umat berkumpul untuk memberi manfaat atau mudharat kepadamu, maka mereka tidak dapat memberi manfaat dan mudharat kepadamu, melainkan yang telah Allah tetapkan untuk dirimu.

Mohonlah kepada Allah untuk memberikan taufik kepadamu dan menjaga hatimu agar engkau termasuk orang-orang yang bertawassul kepada-Nya dengan tawassul yang syar'i bukan dengan tawassul yang bid'ah. Dan mohonlah kepada Allah ta'ala untuk mengampuni dosa-dosamu dan menyelamatkanmu dari azab api neraka yang merupakan seburuk-buruk tempat kembali. Hanya Allah-lah Pemberi Taufik dan Penunjuk kepada jalan yang lurus.

Dikumpulkan dan disusun:

Abu Humaid Abdullah ibn Humaid Al Falasi

Semoga Allah memaafkan dan mengampuninya, orang tuanya dan seluruh kaum muslimin dan muslimat.

Maraji':

  1. At Tawassul Anwa'uhu wa Ahkamuhu karya Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah-dengan diringkas.
  2. At Tawassul Hukmuhu wa Aqsamuhu-dikumpulkan dan disusun oleh Abu Anas Ali ibn Husain Abu Luz-dengan diringkas.
  3. Muqaddimah diambil dari tulisan yang disebarluaskan di situs internet.

***

Oleh: Abu Humaid Abdullah ibnu Humaid Al Fallasi
Diterjemahkan secara bebas oleh: Abu Umair Muhammad Al Makasari (Alumni Ma'had Ilmi)
Murajaah: Ust. Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Hadits, Atsar dan Kisah Dha’if dan Palsu Seputar Tawassul (1): Hadits-Hadits Lemah dan Palsu

Hadits Pertama

"Bertawassullah kalian dengan kedudukanku, sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangat besar." Atau: "Apabila kalian meminta kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya dengan kedudukanku, sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangat besar."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Hadits ini dusta dan tidak terdapat dalam kitab-kitab kaum muslimin yang dijadikan pegangan oleh ahlul hadits, dan tidak satu pun ulama menyebutkan hadits tersebut, padahal kedudukan beliau di sisi Allah ta'ala lebih besar dari kemuliaan seluruh nabi dan rasul." (Qo'idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah hal 168. Dan lihat Iqtidlo' Shiratil Mustaqim (2/783)).

Al' Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata, "Hadits ini batil, tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Hadits ini hanya diriwayatkan oleh sebagian orang yang bodoh terhadap As Sunnah." (At Tawassul Anwa'uhu wa Ahkamuhu hal 127).

Hadits Kedua

"Apabila kamu terbelit suatu urusan, maka hendaknya (engkau meminta bantuan dengan berdo'a) kepada ahli kubur" Atau "Minta tolonglah dengan (perantaraan) ahli kubur."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Hadits ini adalah dusta dan diada-adakan atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdasar kesepakatan ahli hadits. Hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari para ulama dan tidak ditemukan sama sekali dalam kitab-kitab hadits yang terpercaya." (Majmu' Fatawaa (11/293)).

Ketika Imam Ibnul Qoyyim menyebutkan beberapa faktor penyebab para penyembah kubur terjerumus ke dalam kesyirikan, beliau berkata, "Dan di antaranya adalah hadits-hadits dusta dan bertentangan (dengan ajaran Islam), yang dipalsukan atas Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam oleh para penyembah berhala dan pengagung kubur yang bertentangan dengan agama dan ajaran Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti hadits:

"Apabila kamu terbelit suatu urusan, maka hendaknya (engkau meminta bantuan) kepada ahli kubur."

Dan hadits,

"áæ ÃÍÓä ÃÍÏßã Ùäå ÈÍÌÑ äÝÚå"

"Seandainya kalian berharap dan optimis walaupun terhadap sebuah batu, maka pasti batu itu akan mampu mendatangkan manfaat kepada kalian." (Ighatsatul Lahfaan (1/243)).

Hadits Ketiga

Dari Anas bin Malik, Ketika Fatimah bintu Asad bin Hasyim ibunda Ali radhiallahu 'anhu wafat, maka dia mengajak Usamah bin Zaid, Abu Musa Al Anshari, Umar bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali liang kubur. Setelah selesai, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam masuk dan berbaring di dalamnya, kemudian beliau berkata:

"Allah adalah Zat yang menghidupkan dan mematikan. Dia Maha Hidup dan tidak mati, ampunilah bibiku Fatimah binti Asad. Ajarkanlah padanya hujjahnya dan luaskanlah tempat tinggalnya yang baru dengan hak nabi-Mu dan hak para nabi sebelumku, karena sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Penyayang."

Al 'Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata, "Hadits ini tidak mengandung targhib (anjuran untuk melakukan suatu amalan yang ditetapkan syariat) dan tidak pula menjelaskan keutamaan amalan yang telah ditetapkan dalam syariat. Sesungguhnya hadits ini hanya memberitahukan permasalahan seputar boleh atau tidak boleh, dan seandainya hadits ini shahih, maka isinya menetapkan suatu hukum syar'i. Sedangkan kalian (para penyanggah -pent) menjadikannya sebagai salah satu dalil bolehnya tawassul yang diperselisihkan ini. Maka apabila kalian telah menerima kedha'ifan hadits ini, maka kalian tidak boleh berdalil dengannya. Aku tidak bisa membayangkan ada seorang berakal yang akan mendukung kalian untuk memasukkan hadits ini ke dalam bab targhib dan tarhib, karena hal ini adalah sikap tidak mau tunduk kepada kebenaran, mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikemukakan oleh seluruh orang yang berakal sehat." (Lihat At Tawassul Anwa'uhu wa Ahkamuhu hal. 110 dan Silsilah Ahadits Addha'ifah wal Maudlu'at (1/32) hadits nomor 23. Beliau telah menjelaskan kelemahan hadits ini dan menjelaskan alasannya dengan rici, maka merujuklah ke buku tersebut).

Hadits Keempat

Dari Abu Sa'id Al Khudry secara marfu':

Barang siapa keluar dari rumahnya untuk shalat, kemudian mengucapkan: "Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dengan hak orang-orang yang berdo'a kepada-Mu, dan aku meminta kepada-Mu dengan hak perjalananku ini. Sesungguhnya aku tidaklah keluar dengan sombong dan angkuh, tidak pula dengan riya' dan sum'ah. Aku keluar agar terbebas dari murka-Mu dan untuk mencari ridlo-Mu, maka aku meminta kepada-Mu untuk membebaskanku dari api neraka dan mengampuni dosa-dosaku, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau." Maka Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya dan 70000 malaikat akan memohonkan ampun baginya. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (778), Ahmad (3/21) dan hadits ini telah didha'ifkan Al Allamah Al Albani dalam Silsilah Ahadits Adhdho'ifah (1/34) dan dalam At Tawassul hal. 99).

Syaikh Fuad Abdul Baqi berkata dalam Az Zawaaid, "Sanad hadits ini berisi rentetan para perawi yang lemah, yaitu Athiyyah adalah Al Aufi, Fadlil ibn Mirzaq dan Al Fadl ibnul Muwaffiq. Mereka semua adalah rawi yang dha'if."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Adapun perkataan, 'Aku meminta kepada-Mu dengan hak orang-orang yang meminta kepada-Mu', diriwayatkan oleh Ibnu Majah akan tetapi sanad hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah. Sekiranya hadits ini berasal dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka makna hadits ini adalah sesungguhnya hak orang-orang yang berdo'a kepada Allah adalah Allah kabulkan do'a mereka. Sedangkan hak orang yang beribadah kepada Allah adalah Allah memberikan pahala padanya. Hak ini Dia tetapkan atas diri-Nya sebagaimana firman-Nya,

"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku." (QS. Al Baqarah: 186)

Maka ini adalah permintaan kepada Allah dengan hak yang telah Dia wajibkan atas diri-Nya, sehingga persis do'a berikut ini:

"Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau." (QS. Ali Imran: 194)

Dan seperti do'a ketiga orang yang berlindung ke goa, ketika mereka meminta kepada Allah dengan perantara amalan shalih mereka yang Allah telah berjanji untuk memberi pahala atas amalan tersebut." (Majmu' Fatawaa (1/369)).

Al 'Allamah Al Albani berkata, "Kesimpulannya, sesungguhnya hadits ini dha'if dari dua jalur periwatannya dan salah satunya lebih berat kedha'ifannya daripada yang lain. Hadits ini telah didha'ifkan oleh Al Bushiriy, Al Mundziri dan para pakar hadits. Barangsiapa yang menghasankan hadits ini, maka sesungguhnya dia salah sangka atau bertasaahul (terlalu gampang dalam menilai hadits)." (Silsilah Ahadits Adhdha'ifah (1/38) nomor 24).

Hadits Kelima

Dari Umar ibn Al Khattab secara marfu':

Ketika Adam melakukan kesalahan, dia berkata: "Wahai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan hak Muhammad agar Engkau mengampuniku. Maka Allah berfirman, "Wahai Adam, bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal Aku belum menciptakannya?" Adam berkata, "Wahai Tuhanku, ketika Engkau menciptakanku dengan tangan-Mu dan Engkau tiupkan ruh ke dalam diriku, aku mengangkat kepalaku, maka aku melihat tiang-tiang 'arsy tertuliskan "Laa ilaaha illallah Muhammadun rasulullah", maka aku tahu bahwa Engkau tidak menghubungkan sesuatu kepada nama-Mu, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai", kemudian Allah berfirman, "Aku telah mengampunimu, dan sekiranya bukan karena Muhammad tidaklah aku menciptakanmu." (Diriwayatkan oleh Al Hakim (2/615) (2/3, 32/2) dan Al Hakim berkata: "Shahihul Isnad akan tetapi Adz Dzahabi menyalahkan beliau dengan perkataannya: Aku berkata, bahkan hadits ini maudhu', Abdurrahman sangat lemah, dan Abdullah ibn Muslim Al Fahri tidak diketahui jati dirinya.")

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Periwayatan Al Hakim terhadap hadits ini termasuk yang diingkari oleh para ulama, karena sesungguhnya diri beliau sendiri telah berkata dalam kitab Al Madkhal ilaa Ma'rifatish Shahih Minas Saqim, "Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya beberapa hadits palsu yang dapat diketahui secara jelas oleh pakar hadits yang menelitinya bahwa dialah yang membuat hadits-hadits tersebut." Aku (Ibnu Taimiyah) katakan, "Dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah perawi dha'if (lemah) dan banyak melakukan kesalahan sebagaimana kesepakatan mereka (ahli hadits)." (Qo'idah Jalilah fit Tawassul hal 69).

Al Allamah Al Albani berkata, "Kesimpulannya sesungguhnya hadits ini Laa Ashla Lahu (tidak berasal) dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tidak salah menghukuminya dengan batil sebagaimana penilaian dua orang Al Hafizh, Adz Dzahabi dan Al Asqalani sebagaimana telah dinukil dari keduanya." (Silsilah Ahadits Addha'ifah 1/40).

Hadits Keenam

Dari Umayyah ibn Abdillah ibn Khalid ibn Usaid, ia berkata:

"Rasulullah pernah meminta kemenangan dengan (bantuan) orang-orang melarat dari kaum Muhajirin." (Diriwayatkan Ath Thabrani dalam Al Kabir 1/269 dan disebutkan oleh At Tabrizi dalam Misykatul Mashabih 5247 dan Al Qurthubi dalam Tafsir-nya 2/26; Dalam Al Isti'ab 1/38, Ibnu Abdil Barr berkata, "Menurutku tidaklah benar kalau Umayyah ibn Abdillah adalah seorang sahabat Nabi, sehingga hadits di atas adalah hadits yang mursal." Al Hafizh dalam Al Ishobah 1/133 berkata, "Umayyah bukanlah sahabat Nabi dan tidak memiliki riwayat yang kuat." Al Albani dalam At Tawassul hal. 111 mengatakan, "Pokok permasalahan dalam hadits tersebut adalah status Umayyah. Tidak terbukti bahwa beliau adalah salah seorang sahabat, sehingga status hadits tersebut adalah hadits mursal dha'if.")

Al Allamah Al Albani berkata, "Hadits ini dha'if sehingga tidak dapat digunakan sebagai hujjah." Kemudian beliau berkata, "Seandainya hadits ini shahih, maka hadits ini semakna dengan hadits Umar, yaitu Umar meminta hujan dengan perantaraan doa Al Abbas, paman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan hadits orang buta (seorang lelaki buta yang meminta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mendoakannya kepada Allah agar penglihatannya dikembalikan), yaitu bertawassul dengan doa orang shalih (yang masih hidup-pent)." (At Tawassul Anwa'uhu wa Ahkamuhu hal 112).

Al Munawi berkata dalam Faidlul Qadir (5/219), "(Rasulullah) pernah meminta kemenangan maksudnya meminta kemenangan dalam peperangan sebagaimana firman Allah ta'ala:

"Jika kalian (orang-orang musyrikin) meminta kemenangan, maka telah datang kemenangan kepadamu." (QS. Al Anfaal: 19)

Az Zamakhsyari mengatakan yang dimaksud dengan "meminta bantuan", yakni meminta kemenangan dengan orang-orang melarat dari kaum Muhajirin, yaitu dengan doa kaum fakir yang tidak memiliki harta dari kalangan Muhajirin.

Hadits Ketujuh

Dari Abdullah ibn Mas'ud dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berkata,

"Hidupku baik bagi kalian, kalian bisa menyampaikan hadits dan akan ada hadits yang disampaikan dari kalian. Dan kematianku adalah kebaikan bagi kalian, amal-amal kalian akan dihadapkan kepadaku, jika aku melihat kebaikan aku memuji Allah karenanya dan jika aku melihat keburukan, aku akan memohon ampun kepada Allah bagi kalian." (Diriwayatkan oleh An Nasa'i 1/189, Ath Thabrani dalam Mu'jamul Kabir 3/81/2, Abu Nu'aim dalam Akhbaru Ashbahan 2/205 dan Ibnu Asakir 9/189/2 dan Al Albani telah melemahkan hadits ini dalam Silsilah Ahadits Adhdha'ifah wal Maudhu'at 2/404).

Al Allamah Al Albani berkata, sesudah menyebutkan beberapa perkataan ulama tentang hadits ini, "Kesimpulannya, bahwa hadits ini dha'if dengan seluruh jalur periwayatannya, dan yang paling baik dari semua jalur tersebut adalah hadits mursal dari Bakr bin Abdil Muththallib Al Muzani, dan hadits mursal termasuk kategori hadits dha'if menurut para muhaddits. Adapun hadits dari Ibnu Mas'ud maka hadits itu khotho' (salah), dan yang terburuk dari beberapa jalan jalur periwayatan hadits ini adalah hadits Anas dengan dua jalur periwatannya." (Silsilah Ahadits Adhdha'ifah wal Maudlu'at 2/404-406).

-bersambung insya Allah-

***

Oleh: Abu Humaid Abdullah ibnu Humaid Al Fallasi
Diterjemahkan secara bebas oleh: Abu Umair Muhammad Al Makasari (Alumni Ma'had Ilmi)
Murajaah: Ust. Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id

Dzikir Ibadah yang Sangat Agung

Segala puji bagi Allah, Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa, Yang Maha Mulia lagi Maha Pengampun. Dzat yang menetapkan takdir dan mengatur segala urusan. Dzat yang mempergilirkan malam dan siang sebagai pelajaran bagi orang-orang yang memiliki hati dan pemahaman. Dzat yang menyadarkan sebagian makhluk dan memilihnya di antara orang pilihan-Nya dan kemudian Allah memasukkan dia ke dalam golongan orang-orang yang terbaik. Dzat yang memberikan taufik kepada orang yang Dia pilih di antara hamba-hamba-Nya kemudian Allah jadikan dia termasuk golongan al-Muqarrabin al-Abrar. Segala puji bagi-Nya yang telah memberikan pencerahan kepada orang yang dicintai-Nya sehingga membuat mereka untuk bersikap zuhud di alam kehidupan dunia ini, sehingga mereka bersungguh-sungguh untuk meraih ridha-Nya serta bersiap-siap untuk menyambut negeri yang kekal. Oleh sebab itu, mereka pun menjauhi perkara yang membuat-Nya murka dan menjauhkan diri dari ancaman siksa neraka. Mereka menundukkan dirinya dengan penuh kesungguhan dalam ketaatan kepada-Nya serta senantiasa berdzikir kepada-Nya pada waktu petang maupun pagi. Dzikir itu senantiasa mereka lakukan walaupun terjadi perubahan keadaan dan di setiap kesempatan; malam maupun siang hari. Oleh sebab itu, bersinarlah hati mereka dengan pancaran cahaya keimanan (lihat Mukadimah Al Adzkar, dalam Shahih Al Adzkar, hal. 11)


Saudaraku -semoga Allah menyinari hati kita dengan keimanan-, dzikir merupakan ibadah yang sangat agung. Allah ta'ala berfirman,

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ

"Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku juga akan mengingat kalian." (QS. al-Baqarah: 152)

Orang-orang yang hadir dalam majelis dzikir adalah orang-orang yang berbahagia. Bagaimana tidak, sedangkan di dalam majelis itu dibacakan ayat-ayat Allah ta'ala dan hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang itu merupakan sumber ketenangan hati dan kebahagiaan sejati.

Allah ta'ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang yang apabila disebutkan nama Allah maka bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat mereka maka bertambahlah keimanan mereka…" (QS. al-Anfal: 2)

Di saat peperangan berkecamuk, Allah pun tetap memerintahkan ibadah yang mulia ini agar mereka menjadi orang-orang yang mendapatkan keberhasilan. Allah ta'ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan pasukan musuh maka tegarlah kalian dan ingatlah kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya, mudah-mudahan kalian beruntung." (QS. al-Anfal: 45)

Allah ta'ala juga berfirman,

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

"Ingatlah, dengan mengingat Allah maka hati akan menjadi tenang." (QS. ar-Ra'd: 28)

وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلْإِسْلَامِ وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا قَالَ آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَاكَ قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلَّا ذَاكَ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِي جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِي بِكُمْ الْمَلَائِكَةَ

Suatu ketika, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menjumpai sebuah halaqah yang terdiri dari para sahabat beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka beliau bertanya, "Apa yang membuat kalian duduk di sini?" Mereka menjawab, "Kami duduk untuk mengingat Allah ta'ala dan memuji-Nya atas petunjuk yang Allah berikan kepada kami sehingga kami bisa memeluk Islam dan nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada kami." Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengatakan, "Demi Allah, apakah tidak ada alasan lain bagi kalian sehingga membuat kalian duduk di sini melaikan itu?"  Mereka menjawab, "Demi Allah, tidak ada niat kami selain itu." Beliau pun bersabda, "Adapun aku, sesungguhnya aku sama sekali tidak memiliki persangkaan buruk kepada kalian dengan pertanyaanku. Akan tetapi, Jibril datang kepadaku kemudian dia mengabarkan kepadaku bahwa Allah 'azza wa jalla membanggakan kalian di hadapan para malaikat." (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ

"Tidaklah ada suatu kaum yang duduk untuk berdzikir kepada Allah ta'ala melainkan malaikat akan meliputi mereka dan rahmat akan menyelimuti mereka, dan akan turun kepada mereka ketenangan, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya." (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوْا قَالُوْا وَمَا رِيَاضُ الجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ

"Apabila kalian melewati taman-taman surga maka singgahlah." Maka para sahabat bertanya, "Apa yang dimaksud taman-taman surga itu wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Halaqah-halaqah dzikir, karena sesungguhnya Allah ta'ala memiliki malaikat yang berkeliling untuk mencari halaqah-halaqah dzikir. Apabila mereka datang kepada orang-orang itu, maka mereka pun meliputinya." (HR. Abu Nu'aim dalam Al Hilyah dan dihasankan oleh Syaikh Salim dalam Shahih Al Adzkar, hal. 16)

An Nawawi rahimahullah mengatakan, "Ketahuilah, sesungguhnya keutamaan dzikir itu tidak terbatas kepada tasbih, tahlil, tahmid, takbir dan semacamnya. Akan tetapi, setiap orang yang beramal ikhlas karena Allah ta'ala dengan melakukan ketaatan maka dia adalah orang yang berdzikir kepada Allah ta'ala. Demikianlah, yang dikatakan oleh Sa'id bin Jubair radhiyallahu'anhu dan para ulama yang lain. Atha' rahimahullah mengatakan, 'Majelis dzikir adalah majelis halal dan haram, yang membicarakan bagaimana menjual dan membeli, bagaimana shalat, menikah, thalaq, haji, … dan sebagainya.'" (Shahih Al Adzkar, hal. 18)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, "Sebagian dari kalangan ahli hikmah yang terdahulu dari Syam -dugaan saya adalah Sulaiman Al Khawwash rahimahullah mengatakan, 'Dzikir bagi hati laksana makanan bagi tubuh. Maka sebagaimana tubuh tidak akan merasakan kelezatan makanan ketika menderita sakit. Demikian pula hati tidak akan dapat merasakan kemanisan dzikir apabila hatinya masih jatuh cinta kepada dunia'. Apabila hati seseorang telah disibukkan dengan mengingat Allah, senantiasa memikirkan kebenaran, dan merenungkan ilmu, maka dia telah diposisikan sebagaimana mestinya…" (Majmu' Fatawa, 2/344)

Oleh sebab itu, menjadi orang yang banyak mengingat Allah merupakan cita-cita setiap mukmin. Allah ta'ala berfirman,

وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

"Dan kaum lelaki yang banyak mengingat Allah demikian pula kaum perempuan, maka Allah persiapkan untuk mereka ampunan dan pahala yang sangat besar." (QS. Al Ahzab: 35)

Mujahid rahimahullah mengatakan, "Tidaklah tergolong lelaki dan perempuan yang banyak mengingat Allah kecuali apabila dia membiasakan diri senantiasa mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring." (Shahih al-Adzkar, hal. 19)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَيْقَظَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّيَا أَوْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَمِيعًا كُتِبَا فِي الذَّاكِرِينَ وَالذَّاكِرَاتِ

"Apabila seorang suami membangunkan isterinya, kemudian mereka berdua shalat bersama sebanyak dua raka'at, maka mereka berdua akan dicatat termasuk dalam golongan lelaki dan perempuan yang banyak mengingat Allah." (HR. Abu Dawud, An Nasa'i dalam Sunan Al Kubra, dan Ibnu Majah, disahihkan oleh Syaikh Salim dalam Shahih Al Adzkar, hal. 19)

عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِهِ وَقَالَ يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

Mu'adz bin Jabal -radhiyallahu'anhu- menceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memegang tangannya seraya mengucapkan, "Hai Mu'adz, demi Allah sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu. Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu." Lalu beliau bersabda, "Aku wasiatkan kepadamu hai Mu'adz, jangan kamu tinggalkan bacaan setiap kali di akhir shalat hendaknya kamu berdoa, 'Allahumma a'inni 'ala dzikrika wa syukrika wa husni 'ibadatik' (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu)." (HR. Abu Dawud, disahihkan Al Albani dalam Shahih wa Dha'if Sunan Abi Dawud no. 1522)

Itulah sebagian keutamaan dzikir yang bisa kami kemukakan di sini, semoga Allah memberikan kepada kita taufik untuk berdzikir kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya, dan beribadah dengan baik kepada-Nya. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi wa shahibihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil 'alamin.

Hamba yang fakir kepada ampunan Rabbnya

Semoga Allah mengampuninya

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id