Jumat, 28 Januari 2011

Dukun, Tukang Ramal, dan Zodiak

Diriwayatkan dari sebagian istri Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal dan meminta untuk mengabarkan sesuatu, kemudian ia membenarkan perkataannya maka tidak diterima shalatnya 40 hari"[1]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu beliau berkata, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal atau dukun kemudian membenarkan perkataannya, maka ia telah kufur dengan Al Qur'an yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam"[2]

Syaikh Muhammad Al Yamani Al Wushobiy mendefinisikan tukang ramal ('arraaf), yaitu seseorang yang memberitahukan letak barang yang hilang atau dicuri dan selainnya yang tersembunyi keberadaannya bagi manusia. Maka sebagian manusia mendatangi tukang ramal tersebut dan ia memberitahukan tentang sihir, barang yang hilang, barang yang dicuri, maupun identitas pencuri atau penyihir, atau informasi sejenis yang tidak diketahui. Berbeda dengan dukun (kaahin, populer dengan sebutan "paranormal"
dalam bahasa Indonesia -pen) yaitu seseorang yang memberitahukan kepada manusia perkara ghaib, yang belum pernah terjadi, seperti Mahdi Amin[3], kalangan dukun dan sejenisnya, begitu pula orang yang memberitahukan perkara batin dalam diri manusia (biasanya dengan memberitahukan sifat-sifat rahasia, karakter, atau watak orang tersebut yang hanya diketahui dirinya pribadi –pen).[4]

Sedangkan zodiak ialah diagram yang digunakan oleh ahli astrologi untuk menggambarkan posisi planet dan bintang. Diagram tersebut dibagi menjadi 12 bagian, masing-masingnya memiliki nama dan simbol. Zodiak digunakan untuk memperkirakan pengaruh kedudukan planet terhadap nasib atau kehidupan seseorang."[5]

Inilah beberapa pembahasan yang diambil dari berbagai penjelasan para ulama, yang insya Allah akan kami ketengahkan ke hadapan pembaca. Semoga Allah mudahkan.

Hukum Mendatangi Tukang Ramal

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullahu ta'ala berkata, "Zhahir hadits (yang kami sebutkan di atas –pen) ialah barangsiapa yang bertanya kepada tukang ramal, maka shalatnya tidak akan diterima 40 hari, akan tetapi hukum ini tidaklah berlaku mutlak. Adapun hukum bertanya kepada tukang ramal dan sejenisnya terbagi menjadi beberapa jenis:

Jenis Pertama: hanya sekedar bertanya saja, maka ini adalah haram berdasarkan sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, "Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal,… dst. (yang telah disebutkan di atas –pen). Maka ditetapkannya hukuman bagi orang yang bertanya kepada tukang ramal menunjukkan keharamannya, karena tidaklah hukuman atas suatu perbuatan itu disebutkan kecuali menunjukkan atas keharamannya.

Jenis Kedua: bertanya kepada tukang ramal kemudian membenarkan dan mempercayai perkataannya, maka hal ini adalah bentuk kekufuran, karena membenarkan perkara ghaib berarti mendustakan Al Qur'an di mana Allah Ta'ala berfirman (yang artinya), "Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara ghaib, kecuali Allah" (QS. An Naml : 65).

Jenis Ketiga: bertanya kepada tukang ramal dengan maksud untuk mengujinya, apakah ia jujur atau pendusta, bukan dengan maksud untuk mengambil perkataannya. Maka hal ini tidaklah mengapa, dan tidak termasuk dalam hadits di atas. Nabi shallallaahu alaihi wa sallam pernah bertanya kepada Ibnu Shayyad[6], "Apa yang aku sembunyikan darimu?" Ibnu Shayyad menjawab, "Asap", maka Nabi menjawab, "Tetaplah di tempatmu. Engkau tidak akan melampaui apa yang telah Allah takdirkan padamu."[7]

Jenis Keempat: bertanya dengan maksud untuk menampakkan kelemahan dan kedustaan tukang ramal tersebut, kemudian mengujinya dalam rangka menjelaskan kedustaan dan kelemahannya. Maka hal ini dianjurkan, bahkan hukumnya terkadang menjadi wajib. Karena menjelaskan batilnya perkataan dukun tidak diragukan lagi merupakan suatu hal yang dianjurkan, bahkan bisa menjadi wajib.

Maka larangan bertanya kepada tukang ramal tidaklah berlaku mutlak, akan tetapi dirinci sesuai dalil-dalil syar'i yang telah disebutkan."[8]

Bagaimana Cara Tukang Ramal Mengetahui Hal-Hal Ghaib?

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafizhahullahu ta'ala menjelaskan, "Dukun tidaklah mengetahui perkara ghaib kecuali menggunakan jin, yaitu dengan cara beribadah kepada jin tersebut dengan ibadah yang mengandung kesyirikan. Kemudian jin menggunakan kesempatan untuk memalingkan manusia dari ibadah kepada Allah, dan hal tersebut dilakukan agar jin mau mengabarkan hal-hal ghaib.

Adapun jin dapat mengetahui perkara ghaib, yang terkadang benar, dengan cara mencuri rahasia langit. Yaitu jin saling menumpuk satu sama lain hingga mendengar wahyu Allah Jalla wa 'Ala, dari langit. Maka dilemparilah jin dengan panah api sebelum jin tersebut memperoleh rahasia langit dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi terkadang panah api tersebut dilemparkan setelah jin memperoleh rahasia langit. Maka jin kemudian membawa rahasia tersebut kepada dukun, akan tetapi diubah dengan kedustaan, atau ditambah dengan 100 kedustaan. Dukun kemudian mengagungkan jin karenanya, dan pengagungan tersebut ialah bentuk ibadah manusia atas jin.

Adapun sebelum diutusnya Nabi 'alaihish shalatu wa sallam banyak rahasia langit yang beredar, akan tetapi pasca pengutusan Nabi alahish shalatu wa sallam langit dijaga dengan lebih ketat, karena Al Qur'an dan wahyu telah turun, maka rahasia langit dijaga agar tidak ada yang menyerupai wahyu dan nubuwwah. Hingga wafatnya Nabi alaihish shalatu wa sallam rahasia langit kembali beredar akan tetapi hanya sedikit dibandingkan sebelum diutusnya Nabi. Maka dapat disimpulkan bahwa kondisi rahasia langit terbagi menjadi tiga :

1.       Sebelum pengutusan Nabi alaihish shalatu wa sallam: rahasia langit banyak beredar

2.       Setelah pengutusan Nabi alaihish shalatu wa sallam: jin tidak mendapat rahasia langit kecuali sangat jarang terjadi, itu pun bukan merupakan wahyu dari Allah Jalla wa 'Alla

3. Setelah wafatnya Nabi alaihish shalatu wa sallam: rahasia langit kembali beredar, akan tetapi tidak sebanyak sebelumnya, karena langit dijaga ketat dengan panah api. Allah Jalla wa 'Ala menjelaskan hal tersebut dalam banyak ayat Al Qur'an, mengenai bintang-bintang dan panah api yang dilemparkan kepada jin, sebagaimana firman Allah (yang artinya), "Kecuali syaithan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang." (QS. Al Hijr : 18)[9]

Hanya Allah yang Mengetahui Perkara Ghaib

Ahmad bin Abdul Halim Al Harroni rahimahullah membagi perkara ghaib menjadi dua jenis, yaitu:

Pertama, ghaib muthlaq, yang tidak diketahui oleh seluruh makhluq. Allah Ta'ala berfirman (yang artinya), "Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu" (QS. Al Jin : 26)

Kedua, ghaib muqayyad yang tidak diketahui kecuali oleh sebagian makhluk dari kalangan malaikat, jin, manusia dan yang menyaksikannya. Maka hal ini menjadi ghaib bagi sebagian makhluk, namun tidak ghaib bagi yang menyaksikannya. [10]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa'diy rahimahullahu ta'ala menjelaskan, "Sesungguhnya hanya Allah Ta'ala saja yang mengetahui perkara ghaib, maka barangsiapa yang mengaku mengetahui perkara ghaib maka ia telah menjadi sekutu bagi Allah, baik berupa perdukunan, ramalan, dan sejenisnya. Atau barangsiapa yang membenarkan perkataan tersebut maka ia telah menjadikan sekutu bagi Allah dalam kekhususan-Nya, dan ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya.[11]

Hukum Mempercayai Zodiak

Zodiak atau sering diistilahkan dengan astrologi (ilmu ta'tsir), merupakan bagian dari ilmu nujum. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullahu ta'ala kembali menjelaskan berkaitan dengan ilmu ta'tsir ini, "Ilmu ta'tsir (astrologi) terbagi menjadi tiga, yaitu:

Pertama, keyakinan bahwa bintang-bintang memiliki pengaruh atas seseorang, dalam arti bahwa bintang-bintang tersebut mampu menciptakan kejadian dan musibah. Maka hal tersebut merupakan kesyirikan akbar, karena barangsiapa yang menyerukan bahwa selain Allah ada pencipta lain, maka ia melakukan syirik akbar. Hal tersebut juga menjadikan pencipta (yaitu Allah Ta'ala) tunduk pada salah satu makhluq-Nya (yaitu bintang-bintang).

Kedua, keyakinan bahwa bintang-bintang menjadi sebab bagi sesuatu yang belum terjadi, dan hal tersebut ditunjukkan melalui pergerakannya, peralihannya, atau pergantian tertentu dari bintang. Misalnya perkataan 'Karena bintang ini bergerak seperti ini, maka itu artinya orang ini hidupnya akan sial', atau 'Karena orang ini lahir saat bintang berada dalam posisi ini, maka ia akan menjadi orang yang bahagia'. Maka hal semacam ini termasuk menjadikan ilmu perbintangan sebagai sarana untuk meramal perkara ghaib, dan perbuatan ini termasuk kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari agama. Allah Ta'ala berfirman (yang artinya), "Katakanlah: 'Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah'" (QS. An Naml : 65)

Ketiga, keyakinan bahwa bintang-bintang menjadi sebab terjadinya kebaikan atau keburukan. Yaitu dengan menyandarkan segala sesuatu yang terjadi sebagai akibat pergerakan bintang, dan hal tersebut dilakukan hanya jika sesuatu tersebut telah terjadi. Maka perbuatan semacam ini tergolong syirik ashghar.[12]

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yhouga Ariesta

Artikel www.muslim.or.id


 

[1] HR. Muslim [2230] tanpa lafadz "..kemudian ia membenarkan perkataannya.." Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullahu ta'ala menjelaskan makna "tidak diterima shalatnya" dengan "tidak diberi pahala shalatnya". Sehingga shalat tetap wajib bagi orang tersebut. Wallahu a'lam. (lihat Al Mulakhash fi Syarh Kitab At Tauhid hal. 213 cet. Darul Ashimah)

[2] HR. Al Hakam [I/8] dishahihkan dan disepakati oleh Adz Dzahabi dan Al Albani dalam Al Irwa' [2006]

[3] Nama seorang dukun dari Iran

[4]
Al Qoulul Mufid fi Adillati At Tauhid hal. 142, cet. Dar Ibn Hazm

[5]
Zodiac, Google Dictionary, http://google.com/dictionary

[6] Ibnu Shayyad, namanya Shaafi, sebagian pendapat mengatakan namanya Abdullah bin Shayyad, atau Shaa'id. Ia adalah seorang Yahudi penduduk Madinah, sebagian pendapat mengatakan ia bahkan seorang Anshar. Ia masih kecil saat kedatangan Nabi shallallaahu alaihi wa sallam ke Madinah, sebagian pendapat mengatakan ia kemudian masuk Islam. Dikatakan bahwa Ibnu Shayyad ialah Dajjal, ia terkadang mampu meramal, sebagian orang kemudian membenarkannya dan sebagian yang lain mendustakannya. Maka beritanya segera tersebar, dan orang-orang menyangka ia adalah Dajjal. Nabi shallallaahu alaihi wa sallam kemudian menemui Ibnu Shayyad untuk mengklarifikasi kebenaran hal tersebut (lihat HR. Bukhari 1355) Ibnu Shayyad tetap hidup setelah Nabi shallallaahu alaihi wa sallam wafat, namun keberadaannya tidak diketahui setelah itu. Para ulama, semisal Ibnu Hajar dalam Fathul Bari  13/328, menjalaskan bahwa Ibnu Shayyad ialah salah satu diantara Dajjal, akan tetapi bukanlah Dajjal akbar. Wallahu a'lam. (Man Huwa Ibnu Shayyad?, Syaikh Muhammad Shalih Munajjid, www.islam-qa.com)

[7] HR. Bukhari [1355] dan Muslim [2931]

[8]
Al Qoulul Mufid Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, I/332, cet. Darul Aqidah

[9]
At Tamhid fi Syarh Kitab At Tauhid hal. 318-319. Syaikh Shalih bin Abdul 'Azis Alu Syaikh, cet. Darut Tauhid

[10]
Majmu' Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Harroni, 16/110

[11]
Al Qoulus Sadiid fi Maqashid At Tauhid hal. 80, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa'diy, cet. Darul Aqidah

[12]
Al Qoulul Mufid, II/3

Kamis, 27 Januari 2011

Mengapa harus bermanhaj salaf?

Orang-orang yang hidup pada zaman Nabi adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka telah mendapat pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling paham agama dan paling baik amalannya sehingga kepada merekalah kita harus merujuk.

Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; manhaj dan salaf. Manhaj dalam bahasa Arab sama dengan minhaj, yang bermakna: Sebuah jalan yang terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu'jamul Wasith 2/957).

Sedangkan salaf, menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan. (Lisanul Arab, karya Ibnu Mandhur 7/234). Dan dalam terminologi syariat bermakna: Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, tabi'in (murid-murid shahabat) dan tabi'ut tabi'in (murid-murid tabi'in). (Lihat Manhajul Imam As Syafi'i fii Itsbatil 'Aqidah, karya Asy Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al 'Aqil, 1/55).

Berdasarkan definisi di atas, maka manhaj salaf adalah: Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, tabi'in dan tabi'ut tabi'in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafy atau As Salafy, jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun. Al Imam Adz Dzahabi berkata: "As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf." (Siyar A'lamin Nubala 6/21).

Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf (Salafiyyun) biasa disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh dengan Al Quran dan As Sunnah dan bersatu di atasnya. Disebut pula dengan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan berpegang teguh dengan hadits dan atsar di saat orang-orang banyak mengedepankan akal. Disebut juga Al Firqatun Najiyyah, yaitu golongan yang Allah selamatkan dari neraka (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Abdullah bin 'Amr bin Al 'Ash), disebut juga Ath Thaifah Al Manshurah, kelompok yang senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Allah (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Tsauban). (Untuk lebih rincinya lihat kitab Ahlul Hadits Humuth Thaifatul Manshurah An Najiyyah, karya Asy Syaikh Dr. Rabi' bin Hadi Al Madkhali).

Manhaj salaf dan Salafiyyun tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan kepada kita bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dengan pemahaman Salafush Shalih. Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia saudara kita, walaupun berada di belahan bumi yang lain. Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj salaf, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus diikuti dan dipegang erat-erat oleh setiap muslim di dalam memahami agamanya. Mengapa? Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Quran dan demikian pula yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam di dalam Sunnahnya. Sedang kan Allah telah berwasiat kepada kita: "Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya." (An Nisa': 59)

Adapun ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut:

1. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman : "Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat." (Al Fatihah: 6-7)

Al Imam Ibnul Qayyim berkata: "Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah." (Madaarijus Saalikin, 1/72).

Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim tentang ayat di atas menunjukkan bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, yang mereka itu adalah Salafush Shalih, merupakan orang-orang yang lebih berhak menyandang gelar "orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah" dan "orang-orang yang berada di atas jalan yang lurus", dikarenakan betapa dalamnya pengetahuan mereka tentang kebenaran dan betapa konsistennya mereka dalam mengikutinya. Gelar ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami dienul Islam ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar, dan berada di atas jalan yang lurus pula.

2. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: "Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (An Nisa': 115)

Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata: "Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): 'Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin disini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, juga dengan Allah Ta'ala.'" (Al Marqat fii Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran." (Majmu' Fatawa, 7/38).

Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang mukmin dalam ayat ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam (As Salaf), dan juga keterkaitan yang erat antara menentang Rasul dengan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti "manhaj salaf", jalannya para sahabat.

Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di dalam memahami dienul Islam ini, berarti kita telah menentang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan akibatnya sungguh mengerikan… akan dibiarkan leluasa bergelimang dalam kesesatan… dan kesudahannya masuk ke dalam neraka Jahannam, seburuk-buruk tempat kembali… na'udzu billahi min dzaalik.

3. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman: "Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung." (At-Taubah: 100).

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan jannah (surga)-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar (As Salaf) semata, akan tetapi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah dan jaminan surga seperti mereka.

Al Hafidh Ibnu Katsir berkata: "Allah Subhanahu Wa Ta'ala mengkhabarkan tentang keridhaan-Nya kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah Ia sediakan untuk mereka dari jannah-jannah (surga-surga) yang penuh dengan kenikmatan, dan kenikmatan yang abadi." (Tafsir Ibnu Katsir, 2/367). Ini menunjukkan bahwa mengikuti manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha Allah dan jannah Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ

Artinya : "Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu)." [QS Al Baqoroh: 137]

Adapun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah sebagai berikut:

1. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa' Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…" (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat Al 'Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa'ul Ghalil, hadits no. 2455). Dalam hadits ini dengan tegas dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan perselisihan yang begitu banyak di dalam memahami dienul Islam, dan jalan satu-satunya yang mengantarkan kepada keselamatan ialah dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan sunnah Al Khulafa' Ar Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam memerintahkan agar kita senantiasa berpegang teguh dengannya. Al Imam Asy Syathibi berkata: "Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam -sebagaimana yang engkau saksikan- telah mengiringkan sunnah Al Khulafa' Ar Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwasanya di antara konsekuensi mengikuti sunnah beliau adalah mengikuti sunnah mereka…, yang demikian itu dikarenakan apa yang mereka sunnahkan benar-benar mengikuti sunnah nabi mereka u atau mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam, baik secara global maupun secara rinci, yang tidak diketahui oleh selain mereka."(Al I'tisham, 1/118).

2. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : "Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu." (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).

Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata (tentang tafsir hadits di atas): "Kalau bukan Ahlul Hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka?!" (Syaraf Ashhabil Hadits, karya Al Khatib Al Baghdadi, hal. 36).

Al Imam Ibnul Mubarak, Al Imam Al Bukhari, Al Imam Ahmad bin Sinan Al Muhaddits, semuanya berkata tentang tafsir hadits ini: "Mereka adalah Ahlul Hadits." (Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 26, 37). Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: "Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian (Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam), di dalamnya beliau telah menyebutkan tentang keutamaan sekelompok kecil yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan setiap masa dari jaman ini tidak akan lengang dari mereka. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam mendoakan mereka dan doa itupun terkabul. Maka Allah 'Azza Wa Jalla menjadikan pada tiap masa dan jaman, sekelompok dari umat ini yang memperjuangkan kebenaran, tampil di atasnya dan menerangkannya kepada umat manusia dengan sebenar-benarnya keterangan. Sekelompok kecil ini secara yakin adalah Ahlul Hadits insya Allah, sebagaimana yang telah disaksikan oleh sejumlah ulama yang tangguh, baik terdahulu ataupun di masa kini." (Tarikh Ahlil Hadits, hal 131).

Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang yang mengikuti manhaj salaf. Atas dasar itulah, siapa saja yang ingin menjadi bagian dari "sekelompok kecil" yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj salaf.

3. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "…. Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: 'Siapa dia wahai Rasulullah?'. Beliau menjawab: golongan yang aku dan para sahabatku mengikuti." (Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin 'Amr bin Al 'Ash).

Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: "Hadits ini sebagai nash (dalil–red) dalam perselisihan, karena ia dengan tegas menjelaskan tentang tiga perkara: - Pertama, bahwa umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih dan menjadi golongan-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat di dalam memahami agama. Semuanya masuk ke dalam neraka, dikarenakan mereka masih terus berselisih dalam masalah-masalah agama setelah datangnya penjelasan dari Rabb Semesta Alam. - Kedua, kecuali satu golongan yang Allah selamatkan, dikarenakan mereka berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan mengamalkan keduanya tanpa adanya takwil dan penyimpangan. - Ketiga, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah menentukan golongan yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia hanya satu dan mempunyai sifat yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir. (Tarikh Ahlil Hadits hal 78-79). Tentunya, golongan yang ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam itu adalah yang mengikuti manhaj salaf, karena mereka di dalam memahami dienul Islam ini menempuh suatu jalan yang Rasulullah dan para sahabatnya berada di atasnya.

Berdasarkan beberapa ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa manhaj salaf merupakan satu-satunya manhaj yang harus diikuti di dalam memahami dienul Islam ini, karena:

  • Manhaj salaf adalah manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus.
  • Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, yang berakibat akan diberi keleluasaan untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah Jahannam.
  • Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf dengan sebaik-baiknya, pasti mendapat ridha dari Allah dan tempat kembalinya adalah surga yang penuh dengan kenikmatan, kekal abadi di dalamnya.
  • Manhaj salaf adalah manhaj yang harus dipegang erat-erat, tatkala bermunculan pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat di dalam memahami dienul Islam, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.
  • Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah sekelompok dari umat ini yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
  • Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah golongan yang selamat dikarenakan mereka berada di atas jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika:

  • Al Imam Abdurrahman bin 'Amr Al Auza'i berkata: "Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun banyak orang menolakmu, dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah)." (Asy Syari'ah, karya Al Imam Al Ajurri, hal. 63).
  • Al Imam Abu Hanifah An Nu'man bin Tsabit berkata: "Wajib bagimu untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia adalah bid'ah." (Shaunul Manthiq, karya As Suyuthi, hal. 322, saya nukil dari kitab Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 54).
  • Al Imam Abul Mudhaffar As Sam'ani berkata: "Syi'ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama)." (Al Intishaar li Ahlil Hadits, karya Muhammad bin Umar Bazmul hal. 88).
  • Al Imam Qawaamus Sunnah Al Ashbahani berkata: "Barangsiapa menyelisihi sahabat dan tabi'in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya." (Al Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, 2/437-438, saya nukil dari kitab Al Intishaar li Ahlil Hadits, hal. 88)
  • Al-Imam As Syathibi berkata: "Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf, maka ia adalah kesesatan." (Al Muwafaqaat, 3/284), saya nukil melalui Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57).
  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar." (Majmu' Fatawa, 4/149).

Beliau juga berkata: "Bahkan syi'ar Ahlul Bid'ah adalah meninggalkan manhaj salaf." (Majmu' Fatawa, 4/155).

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin yaa Rabbal 'Alamin. Wallahu a'lamu bish shawaab.

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Ruwaifi' bin Sulaimi Al Atsari, Lc, judul asli Mengapa Harus Bermanhaj Salaf, rubrik Manhaji, Majalah Asy Syariah. Url sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=82 http://www.salafy.or.id/modules/konten/?id=2

Senin, 24 Januari 2011

Memberhalakan Orang Shalih

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah subhanahuwata'ala, salah satu cara agar kita bisa memahami dan mengamalkan tauhid adalah dengan mengetahui lawannya, yaitu kesyirikan. Seperti yang telah kita ketahui, syirik adalah menyejajarkan segala sesuatu selain Allah dengan Allah dalam hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, yaitu dalam hal Rububiyyah (Perbuatan-perbuatan Allah), 'Uluhiyyah (Perbuatan hamba dalam rangka beribadah kepada-Nya) dan Asma wa sifat (Nama dan Sifat Allah). Kesyirikan memiliki bentuk yang beraneka macam, dari yang nampak jelas sampai yang tersembunyi. Bahkan seseorang dapat tidak mengenali suatu kesyirikan karena kesamarannya. Untuk itu wajib bagi setiap muslim mempelajari ilmu tauhid secara mendalam sehingga dapat membedakan perkara tauhid dan syirik. Salah satu kesyirikan yang sering terjadi di tengah masyarakat adalah sebagai akibat berlebihan terhadap orang shalih.

Definisi Orang Shalih

Seseorang dikatakan memiliki sifat shalih jika telah menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak sesama dengan baik. Yaitu orang yang menjauhi perbuatan kerusakan dan dosa serta menjalankan ketaatan kepada Allah dan bersegera dalam kebaikan[1]. Dan manusia yang paling shalih adalah dari kalangan Rasul dan para Nabi. Secara umum manusia memiliki tiga sikap terhadap orang shalih[2]:

Pertama, orang yang besikap sesuai dengan batasan syari'at yaitu meneladaninya, mencintainya, menghormatinya, loyal kepadanya, membelanya, dan sikap lainnya yang diizinkan oleh syari'at. Dan secara khusus jika orang shalih tersebut adalah seorang Rasul, maka dengan mengambil syari'atnya dan mengikuti jejaknya.

Kedua, bersikap belebihan yaitu menyanjungnya dengan sanjungan yang melampaui batas, membangun dan memberi penerangan terhadap kuburnya, beribadah kepada Allah di sisi kuburnya, tabarruk (mencari berkah) dengan jasad dan peninggalannya, dan lain-lain.

Ketiga, bersikap merendahkan yaitu dengan tidak menunaikan hak-hak orang shalih seperti yang telah disebutkan pada poin pertama.

Dari kedua sikap tersebut, hanya sikap yang pertama yang diizinkan oleh syari'at, dua sikap yang lainnya merupakan sikap yang terlarang. Khususnya sikap berlebihan terhadap orang shalih. Karena hal tersebut dapat mengantarkan seseorang kepada jurang kesyirikan.

Awal Kesyirikan, Akibat dari Sikap Berlebihan Terhadap Orang Shalih

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman (yang artinya), "Dan mereka (Kaum Nabi Nuh) berkata, "Jangan kamu sekali-kali meninggalkan sesembahan-sesembahan kamu dan (terutama) janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya'quq, maupun Nasr" (QS. Nuh: 23). Ibnu Abbas radliyallaahu 'anhu berkata dalam menafsirkan ayat yang mulia ini, "Ini adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh. Tatkala mereka meninggal, syaitan membisikkan kepada kaum mereka, 'Dirikanlah patung-patung mereka pada tempat yang pernah diadakan pertemuan di sana, dan namailah patung-patung itu dengan nama-nama mereka.' Orang-orang itu pun melaksanakan bisikan syaitan tersebut tetapi patung-patung mereka ketika itu belum disembah. Hingga orang-orang yang mendirikan patung itu meninggal dan ilmu agama dilupakan orang, barulah patung-patung tadi disembah".[3]

Dari riwayat Ibnu Abbas radliyallaahu 'anhu di atas, telah jelas bahwa pada awalnya kaum Nabi Nuh tidak bermaksud untuk menyembah patung yang meraka buat, melainkan hanya untuk mengenang orang-orang shalih tersebut. Namun pada akhirnya patung tersebut pun disembah. Hal ini menunjukkan haramnya perbuatan berlebihan terhadap orang shalih, yaitu membangun patung untuk mengenang mereka. Karena perbuatan berlebihan terhadap orang shalih tersebut dapat menjadi jalan terwujudnya kesyirikan. Sebagaimana hadits dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam (yang artinya) "Jauhilah oleh kamu sekalian sikap berlebihan, sesungguhnya hancurnya umat sebelum kalian adalah karena berlebihan dalam agama.[4]

Dari Jundub bin Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu 'anhu, dia pernah mendengar Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda lima hari sebelum hari wafatnya,"Aku memiliki beberapa saudara dan teman di antara kalian. Dan sesungguhnya aku berlindung kepada Allah dari memiliki kekasih (khalil) di antara kalian. Dan sesungguhnya Allah telah menjadikan diriku sebagai kekasih sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih (khalil). Seandainya aku boleh mengambil kekasih, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih. Dan ketahuilah, (sesungguhnya) orang-orang sebelum kalian telah memperlakukan kubur para nabi mereka dan orang-orang shalih di antara mereka sebagaimana masjid. Janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang kalian melakukan hal itu"[5]

Takut Pada Syirik

Jika kita perhatikan keadaan kaum muslimin di sekitar kita, masih banyak di antara mereka yang kurang perhatian terhadap ilmu tauhid, bahkan meremehkannya dengan mengatakan "Buat apa kita belajar tauhid terus, kaum muslimin saat ini sudah bertauhid. Mereka lebih membutuhkan ilmu politik islam dan akhlak." Padahal kekasih Allah, Nabi Ibrahim, masih berdoa kepada Allah untuk dijauhkan dari kesyirikan. Sebagaimana firman Allah ta'ala (yang artinya) "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala."( QS. Ibrahim 35). Maka bagaimanakah lagi dengan kita, apakah kita mau mengatakan tauhid kita lebih baik dari Nabi Ibrahim?!

Banyak kaum muslimin menyembah orang-orang yang mereka anggap shalih, yaitu dengan menyembah kuburannya, patungnya, berdo'a disisinya, mencari barokah di sisi kuburnya dan bentuk ibadah yang lainnya. Padahal ibadah merupakan perkara yang hanya boleh ditujukkan kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Kalau hal ini diajarkan syari'at, tentu para sahabat akan lebih dahulu melakukannya, yaitu kepada makhluk yang paling shalih, Rasulullah shollahllahu 'alaihi wasallam. Namun kenyataannya tidak ditemukan satu pun riwayat yang shahih yang menunjukkan hal tersebut. Lantas siapakah yang akan kita ikuti, jika kaum yang diridhai oleh Allah saja (yaitu para sahabat) tidak melakukannya?

Di Manakah Akal Sehat?

Jika kita masih menggunakan akal sehat kita, maka kita akan menyadari bahwa mereka yang menyekutukan Allah subhanahu wa ta'ala, telah melakukan perbuatan yang ditolak oleh akalnya sendiri. Allah subhanahuwata'ala berfirman (yang artinya) "Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri adalah makhluk yang diciptakan. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.[6] Pada ayat yang mulia ini, Allah subhanahuwata'ala menunjukkan kelemahan-kelemahan sesembahan yang disembah selain Allah. Pertama, sesembahan tersebut tidak mampu mencipta sebagaimana Allah subhanahuwata'ala mencipta. Maka seandainya ada sesuatu yang dapat mencipta sebagaimana Allah mencipta maka niscaya sesuatu tersebut layak untuk disembah. Namun pada kenyataannya hal tersebut mustahil ada. Karena hanya Allah yang maha Pencipta dan tidak ada yang semisal dengan-Nya. Kedua, sesembahan tersebut merupakan makhluk yang diciptakan. Akal tentu menetapkan bahwa yang mencipta pasti lebih layak disembah daripada yang diciptakan, karena yang mencipta pasti lebih kuasa dari yang dicipta. Dan hanya Allah yang bersifat Maha Pencipta segala sesuatu. Ketiga, sesembahan tersebut tidak mampu menolong orang yang menyembahnya. Dan yang keempat, bahkan sesembahan tersebut tidak mampu untuk menolong diri mereka sendiri. Maka untuk apa kita menyembah sesuatu yang lemah dan tidak kuasa untuk menghilangkan kemudharatan sedikit pun bahkan untuk dirinya sendiri.

Kita berdo'a kepada Allah subhanahu wa ta'ala agar dijauhkan dari perbuatan-perbuatan kesyirikan dan memberikan kita taufiq untuk dapat mempelajari tauhid dan mengamalkannya.

Penulis: Abu Kabsyah Ndaru

Artikel www.muslim.or.id


 

[1] Lihat At-Tamhid halaman 238, cetakan Darut Tauhid. Ditulis oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu asy-Syaikh

[2] Lihat Mutiara Faedah Kitab Tauhid hal 119 – 120

[3] HR Bukhari 5/382 no.4920

[4] HR Nasa'i dalam sunannya no.  3057. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam silsilah hadits shahihah 5/177

[5] HR Muslim no. 532 dan Abu 'Awanah 1/401

[6] QS. Al A'raaf : 191-192

Sabtu, 22 Januari 2011

Larangan Berkata.. Seandainya…

Oleh
Ustadz Abu Haidar as Sundawi


Salah satu di antara sekian banyak penyimpangan yang dilakukan oleh lisan adalah mengatakan "seandainya" yang digunakan untuk menggugat taqdir atau syariat, atau untuk mengungkapkan kerugian (rasa sial) dan penyesalan terhadap apa yang sudah terjadi. Allah Azza wa Jalla berfirman :
(
يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَّا قُتِلْنَا هَاهُنَا

… Mereka (orang-orang munafik) berkata: "Seandainya kita memiliki (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini"… [Ali Imran : 154].

Ungkapan orang-orang munafik dalam firman Allah ini, adalah ungkapan "seandainya", yang bermaksud untuk menggugat syari'at.

Asbabun nuzul ayat ini adalah, peristiwa yang diceritakan oleh 'Abdullah bin Zubair pada waktu perang Uhud, dia berkata : Zubair mengatakan : "Aku melihat diriku bersama-sama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika kami ditimpa rasa takut yang amat sangat, lalu Allah memberi rasa ngantuk kepada kami. Tak ada seorangpun di antara kami, kecuali merasakan ketakutan ini pada hati mereka," Zubair berkata lagi : "Lalu, demi Allah, aku mendengar ucapan Muattib bin Qusyair. Aku tidak mendengarnya, kecuali seperti mimpi. Muattib mengatakan,'Seandainya kita memiliki hak campur tangan dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan terbunuh disini'."

Aku menghafalkan ucapan ini, lalu Allah menurunkan ayat "Mereka berkata ' seandainya kita memiliki hak campur tangan dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan terbunuh disini". Lalu Allah menjawab :

قُل لَّوْ كُنتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَىٰ مَضَاجِعِهِمْ

Katakan (wahai Muhammad) : "Seandainya kalian berada di rumah-rumah kalian, maka pasti akan keluarlah orang-orang yang telah ditetapkan mati untuk menuju ke tempat kematian mereka".

Jadi kematian ini adalah taqdir yang sudah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla, sebagai ketetapan yang pasti dan tidak bisa dihindari.[1]

Perkataan mereka yang menyatakan "seandainya kita memiliki hak campur tangan dalam urusan ini …," dan seterusnya, merupakan ungkapan yang bersifat gugatan terhadap syariat. Karenanya, mereka mencela Rasulullah n ketika beliau n menetapkan harus keluar dari Madinah untuk menyongsong musuh di bukit Uhud tanpa persetujuan mereka. Mungkin juga, ini termasuk gugatan terhadap taqdir. Maksud perkataan mereka "seandainya kami memiliki strategi dan pendapat yang bagus, maka kita tidak akan keluar dan tidak akan terbunuh". [2]

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala pada ayat yang lain :

الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا

Orang-orang yang berkata kepada saudara-saudara mereka, dan mereka tidak ikut berperang : "Seandainya mereka megikutii kita, maka mereka tidak akan terbunuh". [Ali Imran : 168].

Imam Ibnu Katsir, ketika menjelaskan ayat ini menyatakan, bahwa maksud perkataan mereka adalah, seandainya mereka (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya) mendengar pendapat kami agar tetap tinggal dan tidak keluar dari Madinah, maka mereka tidak akan terbunuh bersama orang-orang yang sudah gugur. Maka Allah menjawab :

قُلْ فَادْرَءُوا عَنْ أَنفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Katakanlah olehmu : "Tolaklah kematian dari diri-diri kalian bila kalian orang-orang yang benar". [Ali Imran : 168].

Maksudnya, apabila dengan tetap tinggal di tempat bisa menyelamatkan seseorang dari kematian, maka pasti kalian tidak akan mati. Padahal, kematian pasti datang kepada kalian, sekalipun kalian berada di balik peti besi yang kuat. Maka hindarilah kematian dari diri kalian, kalau kalian orang-orang yang benar.

Kata Mujahid, dari Jabir bin 'Abdullah, ayat ini turun tentang 'Abdullah bin Ubay dan dedengkotnya. Artinya, dialah yang menyatakan perkataan ini. [3]

Syaikhul Islam mengatakan ketika menerangkan tentang apa yang terjadi pada diri 'Abdullah bin Ubay, bahwa ketika ia menyendiri pada waktu perang Uhud, ia berkata : "Dia (Muhammad) meninggalkan pendapatku dan mengambil pendapat anak-anak?" Lalu bergabunglah sekelompok besar orang-orang. Mereka belum menjadi munafik sebelum itu. [4]

Perkataan ini diucapkan pada waktu perang Uhud, yaitu ketika 'Abdullah bin Ubay mengundurkan diri di tengah jalan dengan membawa sepertiga dari jumlah pasukan yang sedang menuju Uhud. Ketika sejumlah 70 orang kaum Muslimin gugur sebagai syahid pada perang itu, maka orang-orang munafik mengritik ketetapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka mengatakan : "Seandainya mereka mengikuti kita dan kembali pulang sebagaimana kita, maka mereka tidak akan terbunuh. Maka ketetapan kita lebih baik daripada ketetapan Muhammad". Perkataan ini haram, bahkan bisa saja sampai kepada tingkat kekufuran [5]. Allah berfirman :
$
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ كَفَرُوا وَقَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ إِذَا ضَرَبُوا فِي الْأَرْضِ أَوْ كَانُوا غُزًّى لَّوْ كَانُوا عِندَنَا مَا مَاتُوا وَمَا قُتِلُوا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menyerupai orang-orang kafir dan berkata kepada saudara-saudara mereka apabila mereka bepergian di muka bumi atau mereka pergi berperang : "Seandainya mereka bersama-sama kami, maka mereka tidak akan mati dan tak akan terbunuh". [Ali Imran : 156]. Ini adalah bentuk gugatan terhadap taqdir.

Jadi, mengatakan "seandainya" dengan maksud untuk menggugat taqdir atau menggugat syariat adalah terlarang. Demikian juga mengatakan "seandainya" untuk mengungkapkan penyesalan dan kerugian tentang apa yang sudah terjadi, termasuk hal yang diharamkan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَ اللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

…Bila kamu ditimpa suatu musibah, maka janganlah kamu mengatakan "seandainya tadi aku melakukan ini dan ini, maka pasti akan terjadi begini-begini," akan tetapi katakanlah : "Ini adalah taqdir Allah dan apa saja yang Dia kehendaki, pasti Dia laksanakan." Karena perkataan "seandainya" bisa membuka amalan setan.[6]

Contohnya, apabila ada seseorang yang berminat membeli sesuatu yang dikiranya akan memperoleh keuntungan, tetapi ternyata rugi, lalu dia mengatakan : "Seandainya saya tidak membelinya, maka pasti saya tidak akan rugi". Ini adalah ungkapan penyesalan dan keluhan yang banyak dilakukan manusia. Yang demikian ini terlarang.

Yang dimaksud musibah dalam hadits ini adalah, segala hal yang tidak diinginkan dan tidak disukai, serta apa yang bisa menghalangi tercapainya tujuan dari usaha yang sedang dilakukannya. Siapapun yang cita-citanya tidak sesuai dengan apa yang telah Allah taqdirkan, sehingga tidak memperoleh apa yang diinginkannya, maka dia tidak akan terlepas dari dua keadaan :

1. Dia akan mengatakan : "Seandainya tadi saya tidak melakukan ini, maka tidak akan terjadi begini", atau,
2. Dia akan mengatakan : "Seandainya saya tadi melakkukan ini, pasti akan terjadi begini".

Contoh yang pertama adalah perkataan : "Seandainya saya tidak bepergian, maka keuntungan tidak akan hilang".

Contoh yang kedua adalah perkataan : "Seandainya saya pergi, pasti saya akan untung".

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan contoh yang kedua dan bukan yang pertama, karena orang ini beramal dan dia mengatakan : "Seandainya saya melakukan seperti pekerjaan si Fulan dan bukan perkerjaan yang saya lakukan ini, maka pasti akan tercapailah keinginan saya". Ini berbeda dengan orang yang tidak melakukan, maka sikapnya akan pesimis.

Orang yang ditimpa musibah harus mengatakan : "Ini adalah taqdir Allah, dan apa saja yang Dia kehendaki, pasti Dia laksanakan," maksudnya adalah, bahwa yang terjadi ini merupakan taqdir Allah dan bukan tanggung jawab saya. Adapun tanggung jawab saya, maka saya telah berusaha melakukan apa yang saya lihat bermanfaat, yaitu sebagaimana yang diperintahkan kepada saya. Dan ini adalah sikap taslim (pasrah) yang sempurna kepada ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena manusia, apabila telah melakukan apa yang diperintahkan sesuai dengan syariat, maka dia tidak boleh dicela dan urusannya diserahkan kepada Allah.

Sedangkan yang dimaksud dengan "amalan setan" dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut di atas adalah, apa yang dia bisikkan ke dalam hati manusia berupa penyesalan dan kesedihan, karena setan amat menyukai hal itu. Allah berfirman :
$
إِنَّمَا النَّجْوَىٰ مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ

Sesungguhnya bisik-bisik itu hanyalah dari setan untuk membuat sedih orang-orang yang beriman, dan dia tidak akan membahayakan sedikitpun, kecuali dengan izin Allah. [al Mujadilah : 10].

Sehingga, dalam tidurpun setan senang memperlihatkan mimpi-mimpi menakutkan untuk mengeruhkan kejernihan pikiran manusia dan mengganggu pikirannya. Dalam keadaan seperti itu, manusia tidak akan bisa melaksanakan ibadah sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, kita mengetahui, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita shalat, jika konsentrasi pikiran kita terganggu. Di antaranya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Tidak ada shalat dengan kehadiran makanan dan dalam keadaan dia sedang menahan dua desakan". [7]

Bila seseorang ridha menjadikan Allah sebagai Tuhannya, sehingga segala yang terjadi ia terima sebagai ketetapan Allah dan taqdirNya, maka hatinya akan tenang, dan lapanglah dadanya.[8]

Dilarangnya ucapan "seandainya", karena di dalamnya tersirat ada penyesalan terhadap apa yang luput dari genggaman, dan menyiratkan celaan terhadap taqdir yang bisa memupus sikap sabar dan ridha. Padahal sabar adalah wajib, dan iman kepada taqdir adalah fardhu. Allah berfirman :
!$
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Tidak ada musibah yang terjadi di muka bumi atau yang menimpa diri-diri kalian kecuali sudah tertulis di dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. Agar kalian tidak putus asa dari apa yang tidak kalian dapatkan dan tidak bangga dengan apa yang Allah berikan kepada kalian. Dan Allah tidak mencintai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri. [al Hadid : 22-23].

Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu mengatakan : "Kedudukan sabar dalam iman adalah, seperti kedudukan kepala dalam jasad".[9]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, sesungguhnya manusia tidak diperintah untuk melihat kepada taqdir manakala (ia) diperintah untuk mengerjakan suatu amalan. Akan tetapi, dia diperintahkan untuk menyadari taqdir ketika dia mengalami musibah yang tidak bisa dicegah. Oleh karenanya, apabila ditimpa musibah yang disebabkan perbuatan manusia atau bukan karena perbuatan mereka, maka bersabarlah menerima hal itu, dan relalah serta pasrahlah. Allah berfirman :
!$
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ

Tidak ada musibah yang menimpa kecuali terjadi atas izin Allah, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, maka Allah akan memberi petunjuk ke dalam hatinya. [at Taghabun : 11].

Oleh karena itu Adam mengatakan kepada Musa :


أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً
Apakah engkau akan mencelaku atas perkara yang telah ditaqdirkan Allah untukku 40 tahun sebelum aku diciptakan? [10]

Adam berhujjah kepada Musa karena Musa berkata kepadanya : "Mengapa engkau keluarkan kami dan dirimu dari Surga?"

Musa mencela Adam atas musibah yang dialami karena sebab perbuatannya, bukan karena dosanya. Adapun celaan itu karena sebab dosanya – seperti yang banyak diduga oleh sebagian orang – maka hadits itu tidak bermaksud demikian, karena Adam Alaihissallam telah bertobat dari dosanya dan orang yang bertaubat dari dosanya bagaikan orang yang tak berdosa, sehingga tidak boleh mencela orang yang sudah bertaubat berdasarkan kesepakatan ulama.[11]

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, sesungguhnya ini termasuk beralasan dengan taqdir karena musibahnya, dan bukan karena dosanya. Sehingga Musa tidak berhujjah kepada Adam atas kemaksiatan yang menjadi penyebab keluarnya dari surga, tapi (Musa) berhujjah atas keluarnya itu sendiri. Maknanya adalah, perbuatanmu itu menjadi penyebab keluarnya kita dari Surga. Sebab Musa Alaihissallam sangat tidak mungkin mencela bapaknya yang telah bertaubat atas dosanya tersebut, dan telah dipilih serta telah diberi petunjuk Allah Azza wa Jalla. Penjelasan ini sesuai dengan maksud hadits.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah memberi penjelasan lain ketika menerangkan hadits ini, yaitu bahwa Adam berhujjah dengan taqdir setelah peristiwa itu berlalu dan setelah taubat dari perbuatannya. Tidak seperti orang-orang yang berhujjah atas kemaksiatan agar bisa terus-menerus melakukannya. Orang-orang musyrik berkata :

لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا

Seandainya Allah menghendaki, maka kami tidak akan berbuat musyrik dan juga bapak-bapak kami –al An'am ayat 148- maka Allah mendustakan perkataan tersebut, karena mereka tidak berhujjah atas sesuatu yang sudah terjadi, kemudian mereka mengatakan "kami bertaubat kepada Allah", tetapi mereka berhujjah untuk tetap berada dalam kesyirikan. Sehingga mengatakan "seandainya" untuk beralasan dengan taqdir agar bisa tetap berbuat maksiat, maka perkataan seperti ini adalah batil. Demikian juga ucapan orang-orang musyrik
(#
وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَٰنُ مَا عَبَدْنَاهُم

Seandainya Allah Yang Maha Rahman menghendaki maka kami tidak akan menyembah berhala -QS az Zukhruf ayat 20- maka perkataan ini adalah batil.

Hadits inipun menjelaskan, setan mempunyai pengaruh pada diri manusia berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang artinya : "karena perkataan seandainya itu bisa membuka amalan setan". Dalam hadits lain, Nabi n bersabda :

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ الْإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ

Sesungguhnya setan menjalar pada diri manusia laksana aliran darah.[13]

Sebagian ulama mengatakan, hadits ini bermakna perasaan was-was yang ditiupkan setan ke dalam hati manusia, menjalar bagaikan aliran di pembuluh darah.

Zhahir teks hadits ini menunjukkan, setan itu sendirilah yang menjalar dalam tubuh manusia bagai aliran darah. Bagi Allah Azza wa Jalla yang memiliki kekuasaan, maka hal ini tidak mustahil, sebagaimana ruh, juga menjalar pada aliran darah, yaitu jasad. Apabila ruh itu dicabut, maka dia akan dikafani dan diberi balsem serta diangkat ke langit oleh malaikat.

PERKATAAN "SEANDAINYA" YANG DIPERBOLEHKAN
Tidak semua perkataan "seandainya" itu dilarang. Ada beberapa perkataan "seandainya" dalam konteks tertentu yang dibolehkan. Misalnya, mengatakan "seandainya" dalam mengungkapkan harapan. Hukum boleh atau tidaknya, tergantung jenis harapannya. Apabila harapannya baik, maka boleh. Sebaliknya, apabila harapannya jelek, maka hal itu terlarang.

Dalam suatu hadits shahih, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kisah empat orang, yang salah satu di antara mereka mengatakan :

"Seandainya aku mempunyai harta, maka pasti aku akan beramal seperti amalan si Fulan (yang beramal shalih dengan hartanya)". Ini adalah harapan kebaikan.

Orang kedua mengatakan : "Seandainya aku memiliki harta, pasti aku akan beramal sebagaimana amalan si Fulan (yang beramal jelek dengan hartanya)". Ini adalah harapan kejelekan.

Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata tentang orang yang pertama : "Dia memperoleh pahala berdasarkan niatnya, dan pahala keduanya sama". Adapun tentang orang yang kedua, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : "Dia mendapat dosa berdasarkan niatnya, dan dosa keduanya sama".[14]

Boleh juga menggunakan kata "seandainya" sekedar untuk mengabarkan sesuatu. Contohnya, seseorang mengatakan "seandainya saya menghadiri pelajaran, maka pasti saya akan mengambil faidah dari pelajaran itu". Di antara dalilnya adalah, sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الْهَدْيَ وَلَحَلَلْتُ مَعَ النَّاسِ حِينَ حَلُّوا

Seandainya aku tahu sebelum ihramku apa yang aku tahu sesudahnya, maka aku tidak akan membawa binatang kurban dan aku akan bertahallul bersama kalian.[15]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan, seandainya beliau mengetahui bahwa hal tersebut akan terjadi di kalangan sahabat, maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan membawa binatang qurban dan pasti akan bertahalul. Sebagian ulama mengatakan, bahwa ini termasuk angan-angan, seakan-akan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan "sayang sekali, seandainya aku mengetahui urusan yang sebelumnya tidak tahu, sehingga aku tidak membawa binatang qurban," akan tetapi, yang nampak adalah, beliau mengabarkan tentang apa yang dilihatnya dari para sahabat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengangan-angankan sesuatu yang berseberangan dengan taqdir Allah.[16]

Tentang perkataan "seandainya" yang dimaksudkan untuk mengabarkan, maka hal ini harus dirinci. Kalau kabar yang diberitakan itu benar sesuai dengan kenyataan, maka tidak mengapa. Tetapi, bila maksud perkataan ini bersandar kepada apa yang menjadi penyebab, maka dalam hal ini ada tiga keadaan :

1. Bila sebabnya samar yang tidak punya pengaruh apa-apa, seperti mengatakan "bila bukan karena Wali Fulan, maka tidak akan terjadi begini". Perkataan seperti ini adalah syirik akbar (syirik besar), karena dengan ucapannya ini, dia meyakini bahwa wali Fulan memiliki kemampuan untuk berbuat di alam ini, padahal ia sudah mati.

2. Disandarkan kepada sebab yang benar, ditetapkan berdasarkan syar'i atau empiris. Demikian ini hukumnya boleh, dengan syarat tidak meyakini bahwa sebab itulah yang berpengaruh langsung, dan tidak melupakan penyebab utamanya, yaitu Allah. Dalilnya adalah ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang pamannya (Abu Thalib), beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Seandainya bukan karena aku, maka dia (Abu Thalib) pasti berada di kerak neraka". [17]

Tidak diragukan, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling jauh dari kesyirikan, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling bersih tauhidnya kepada Allah Azza wa Jalla, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyandarkan sesuatu kepada sebab, tetapi ini sesuai dengan syari'at secara hakiki, karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diizinkan memberi syafa'at kepada pamannya untuk diringankan siksanya, sehingga di neraka nanti, pamannya mendapat siksaan yang paling ringan. Abu Thalid diberi dua sandal yang membuat otaknya mendidih.

3. Disandarkan kepada sebab yang nyata, akan tetapi tidak jelas keterkaitan sebabnya, baik secara empiris ataupun secara syar'i. Ini termasuk syirik kecil.

Contohnya, kalung yang dianggap jimat, dan dikatakan jika kalung dimaksud bisa mencegah pengaruh mata jahat (a'in) dan yang sejenisnya. Penetapan yang demikian, yaitu adanya sebab yang tidak ditetapkan oleh Allah sebagai sebab bagi hal tersebut, maka dia menganggap serikat bagi Allah dalam menetapkan sebab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Fathul Majid, 551-552.
[2]. Al Qaulul Mufid (2/364).
[3]. Tafsir Ibnu Katsir (2/139).
[4]. Majmu Fatawa (7/280).
[5]. Al Qaulul Mufid (2/361).
[6]. Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab az Zuhud, Bab Serorang mukmin semua urusannya baik (4/2295), dari Shuhaib bin Sinan z .
[7]. Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab al Masajid (1/393).
[8]. Al Qaulul Mufid (2/370-372).
[9]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Iman, nomor 130, dan Al Lalikai dalam Syarah Ushulil I'tiqad, no. 1569.
[10]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Sahih-nya, no 3409,5705,5752,6472,5715; Muslim dalam Shahih-nya, no. 2652, dari Abu Harairah Radhiyallahu 'anhu.
[11]. Fathul Majid, 556.
[12]. Al Qaulul Mufid (2/374-375).
[13]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam kitab I'tikaf, Bab seorang isteri mengunjungi suaminya ketika i'tikaf (2/68); Muslim dalam kitab Salam (4/1712) dari Shafiyah binti Hayyi Radhiyallahu 'anha.
[14]. Dikeluarkan oleh Ahmad (3/230-231); Tirmidzi dalam kitab az Zuhud, Bab Niat (2/1413), dari Abu Kabsyah 'Amr bin Sa'd al Anmari Radhiyallahu 'anhu.
[15]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Kitab Haji, Bab orang yang haid harus mengqadha seluruh manasik kecuali thawaf (1/506); Muslim, Kitab Haji, Bab penjelasan cara-cara ihram (2/885), dari Jabir Radhiyallahu 'anhu.
[16]. Al Qaulul Mufid (2/362-363).
[17]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Kitab Manaqib Anshar, Bab kisah Abu Thalib (3/62); Muslim dalam Kitab Iman, Bab Syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Thalib (1/194) dari 'Abbas bin Abdul Muthalib Radhiyallahu 'anhu.

http://almanhaj.or.id/content/2953/slash/0

Pluralisme, Paham yang Terbantahkan

Islam, -sebagai agama yang diridhai oleh Allah-, tidak henti-hentinya menghadapi berbagai macam tantangan. Tantangan yang cukup serius adalah tantangan di bidang pemikiran keagamaan, baik internal maupun eksternal.

Kita sudah mafhum, fanatisme, taklid buta, bid'ah, dan khurafat (kesyirikan) telah menjadi tantangan internal bagi Islam. Namun, masuknya pluralisme[1] ke dalam wacana pemikiran Islam telah menjadi salah satu tantangan eksternal yang sangat berbahaya karena berusaha meruntuhkan konstruksi tauhid dalam Islam.

Misi Tauhid = Misi Para Nabi

Pembaca yang dimuliakan Allah, Allah ta'ala telah mengutus Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam untuk mengeluarkan manusia dari kesyirikan menuju tauhid sebagaimana Dia mengutus para nabi dan rasul sebelum beliau. Allah ta'ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ (٣٦)

"Dan sungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah segala bentuk penyembahan kepada thaghut." (An Nahl: 36).

Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa tujuan diutusnya setiap rasul adalah untuk mengeluarkan manusia dari kesyrikan menuju tauhid, dari penyembahan kepada makhuk menuju penyembahan hanya kepada Allah ta'ala. Tujuan inilah yang menjadi titik temu antara ajaran agama yang dibawa oleh setiap nabi, dari yang pertama hingga nabi kita, Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,

وبعث في كل أمة رسولا أي: في كل قرن من الناس وطائفة رسولا وكلهم يدعو (5) إلى عبادة الله، وينهى (6) عن عبادة ما سواه: { أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ } فلم يزل تعالى يرسل إلى الناس الرسل بذلك، منذ حدث الشرك في بني آدم، في قوم نوح الذين أرسل إليهم نوح، وكان أول رسول بعثه الله إلى أهل الأرض إلى أن ختمهم بمحمد صلى الله عليه وسلم الذي طبقت دعوته الإنس والجن في المشارق والمغارب، وكلهم كما قال الله تعالى: { وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا أَنَا فَاعْبُدُونِ } [الأنبياء: 25]

[Allah mengutus seorang rasul untuk setiap umat, di setiap generasi dan golongan, mereka semua menyeru (umatnya) untuk beribadah kepada Allah dan melarang untuk beribadah kepada selain-Nya. Maka Allah senantiasa mengutus para rasul-Nya untuk mendakwahkan hal tersebut sejak munculnya kesyirikan pertama kali pada anak Adam, yaitu pada kaum nabi Nuh.

Beliaulah rasul pertama yang diutus oleh Allah kepada penduduk bumi hingga Allah mengakhiri para rasul tersebut dengan pengutusan Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, yang dakwahnya diperuntukkan bagi jin dan manusia, baik yang berada di Timur dan di Barat sebagaimana disinyalir Allah ta'ala dalam firman-Nya (yang artinya), "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada sembahan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian" (QS. Al Anbiya: 25)].[2]

Oleh karena itu, dapat kita jumpai Al Quran sering memberitakan seruan utama para rasul kepada kaumnya yang berisi ajakan untuk menauhidkan Allah dan menjauhi lawannya, yaitu kesyirikan.[3]

Konsepsi Keimanan dalam Islam

Ironisnya, setelah dakwah tauhid menghampiri mereka, umat-umat dari setiap nabi meninggalkan atau menyimpang dari ajaran yang dibawa oleh para nabi. Mereka mengganti tauhid yang diajarkan oleh para nabi tersebut dengan kesyirikan kepada Allah ta'ala. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, mereka menjadikan nabi-nabi tersebut, yang telah mengajarkan tauhid kepada mereka, sebagai sembahan di samping Allah ta'ala. Mereka telah meninggalkan konsepsi tauhid yang merupakan konsepsi keimanan seluruh nabi yang diutus oleh Allah ta'ala. Jadilah mereka termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mempersekutukan Allah ta'ala (musyrikin). Sehingga hal inilah yang menjadi pembeda antara Islam dengan agama selain Islam.

Diutusnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah untuk meluruskan penyimpangan  tauhid tersebut. Beliau diutus untuk menegakkan konsepsi tauhid para nabi dan itu ditegaskan secara gamblang dalam surat Al Ikhlas,

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (١)اللَّهُ الصَّمَدُ (٢)لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (٣)وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (٤)

"Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Zat yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.  Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia" (QS. Al Ikhlas: 1-4).

Inilah konsepsi tauhid dalam Islam dan merupakan pondasi dasar keimanan seorang muslim. Sangat berbeda dengan konsepsi keimanan Yahudi dan Nasrani. Meskipun kita sama-sama meyakini bahwa Allah adalah sembahan kita, adanya hari berbangkit, yang di sana kita akan bertanggungjawab atas perbuatan kita di hadapan Allah ta'ala. Namun, terdapat perbedaan mendasar antara kita dengan mereka. Allah telah memberitakan perbedaan yang mendasar tersebut.

Allah ta'ala befirman,

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ (٣٠)

"Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al masih itu putera Allah." (QS. At Taubah: 30).

Ayat ini memberitakan bahwa keimanan mereka sangatlah berbeda dengan apa yang difirmankan Allah dalam surat Al Ikhlas di atas.

Mereka beriman kepada Allah, namun keimanan mereka kepada Allah dicampurkan dengan kesyirikan. Allah telah menyatakan hal itu dalam firman-Nya,

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ (١٠٦)

"Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)" (QS. Yusuf: 106).

Betul, mereka meyakini eksistensi Allah dan meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta dan penguasa di alam semesta. Namun, mereka memiliki sembahan selain daripada Allah ta'ala. Dengan demikian, keimanan mereka kepada Allah adalah keimanan yang bercampur dengan kesyirikan, sehingga keimanan mereka pun adalah keimanan yang batil, keimanan yang rusak, karena keimanan tersebut bukanlah keimanan yang murni mentauhidkan Allah ta'ala.

Pembaca yang dimuliakan Allah, konsepsi tauhid inilah yang telah membedakan Islam dengan agama selain Islam. Konsepsi inilah yang membuat Islam sebagai agama satu-satunya yang diridhai oleh Allah ta'ala sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ

"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam" (QS. Ali 'Imran: 19).

Klaim yang Terbantahkan

Pembaca yang dimuliakan Allah, sudah jelas bahwa terdapat perbedaan berarti antara Islam dengan agama-agama selainnya. Oleh karenanya, sungguh aneh masih saja ada kalangan yang hendak menyamakan antara Islam dengan agama selainnya, terutama dengan apa yang mereka sebut sebagai agama-agama samawi (langit)[4]. Sebagian pengusung paham ini justru berani mengklaim bahwa agama yang membawa misi tauhid adalah Yahudi, Nasrani, dan Islam. Padahal, berdasarkan penjelasan sebelumnya, kita dapat menilai bahwa pernyataan tersebut sangat jelas salahnya. Bahkan, klaim bahwa Yahudi dan Nasrani merupakan agama yang membawa misi tauhid adalah klaim yang sangat tidak tepat, mengingat keduanya justru tidak menegakkan ajaran tauhid, namun menegakkan lawannya, yaitu kesyirikan.

Para pengusung paham ini sering mencomot dalil-dalil dalam Al Quran kemudian melakukan "malpraktik penafsiran"[5] untuk mendukung paham mereka sehingga umat Islam terkelabui. Salah satu dalil[6], -tepatnya dalih-, yang sering diangkat untuk membenarkan klaim mereka bahwa semua agama sama adalah firman Allah,

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (٦٢)

"Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Rabb mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS. Al Baqarah: 62).

Berdasarkan ayat ini, kaum pluralis menyimpulkan bahwa siapa pun yang beriman kepada Allah, beriman kepada hari akhir, melakukan amal kebaikan, maka mereka akan mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Dengan kata lain, keimanan kepada Allah, hari akhir dan moralitas yang baik adalah prinsip dasar bagi benarnya keberagamaan seseorang. Oleh sebab itu, meskipun seseorang secara formal tidak memeluk dan menjalankan syari'at Islam, namun bila ia mempunyai tiga prinsip dasar tersebut maka ia akan mendapatkan keselamatan.[7]

Kesimpulan tersebut tidak tepat berdasarkan alasan berikut:

a. Ibnu Katsir rahimahullah telah membawa riwayat dari As Suddi. Beliau menyatakan bahwa ayat ini terkait dengan para sahabat Salman al-Farisi radhiallahu 'anhu. Dia berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa para sahabatnya melakukan shalat, berpuasa, beriman kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan bersaksi bahwa beliau akan diutus sebagai seorang Nabi. Ketika Salman selesai memuji mereka, rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Wahai Salman, mereka adalah ahli neraka." Hal itu terasa berat di hati Salman. Lalu Allah menurunkan ayat tersebut. As Suddi kembali melanjutkan bahwa dengan demikian keimanan Yahudi (dalam ayat tersebut) adalah keimanan orang yang berpegang kepada Taurat dan ajaran Musa 'alaihissalam sampai datangnya 'Isa 'alaihissalam. Ketika 'Isa datang, siapa yang berpegang kepada Taurat dan ajaran Musa, tidak meninggalkannya dan tidak mengikuti 'Isa, maka dia adalah orang yang celaka. Dan keimanan Nasrani (dalam ayat tersebut) adalah keimanan orang yang berpegang kepada Injil dan syariat-syariat 'Isa, maka dia menjadi seorang yang beriman dan diterima – imannya – sampai datangnya Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka, siapa yang tidak mengikuti Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dari mereka, dan meninggalkan ajaran 'Isa dan Injil dia menjadi orang yang celaka.[8]

Ayat ini tidaklah bertolak belakang dengan firman-Nya dalam surat Ali 'Imran ayat 19. Ibnu Katsir menandaskan bahwa ayat di surat Ali 'Imran itu merupakan pemberitaan bahwa setelah nabi Muhammad diutus, segala bentuk jalan (thariqah) atau amal yang dilakukan seorang tidak akan diterima oleh Allah melainkan harus sesuai dengan syari'at Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun, sebelum diutusnya beliau,  siapa saja yang mengikuti seorang nabi yang ada pada zamannya, dia berada dalam suatu petunjuk, jalan kebenaran, dan keselamatan.

Jadi, ayat ini terkait dengan umat Yahudi dan Nasrani sebelum diutusnya rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun, setelah diutusnya beliau, keabsahan iman umat Yahudi dan Nasrani tergantung keimanan mereka kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika mereka menolak, maka tidak bisa dikatakan sebagai orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Dengan demikian, keimanan kepada Allah memiliki hubungan yang erat dengan keimanan kepada rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

b. Ayat-ayat Al Quran saling menjelaskan satu sama lain. Sehingga, tidak sepatutnya kita mencomot salah satu ayat tanpa menghiraukan ayat yang lain. Kaum pluralis ini hendak menyamakan keimanan Islam dengan agama-agama lainnya. Tapi, apakah bentuk keimanan kita sama dengan bentuk keimanan mereka? Jawabnya adalah tidak. Allah telah menegaskan hal ini dalam firman-Nya. Allah memberitakan perihal Ahli Kitab, Yahudi dan Nasrani,

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (١٣٧)

"Maka jika mereka beriman seperti keimanan kalian, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui." (QS. Baqarah: 137).

Firman Allah ini jelas menyatakan keimanan mereka tidaklah sama dengan keimanan kaum muslimin. Oleh karena itu, mereka tidak akan mendapatkan petunjuk sebelum beriman seperti keimanan kaum muslimin.

c. Meskipun mereka beriman kepada Allah, tapi bentuk keimanan mereka adalah keimanan yang bercampur dengan kesyirikan. Oleh karena itu, Allah mengecap mereka dengan kekufuran.

Allah ta'ala berfirman,

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ (١٧)

"Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al masih putera Maryam." (QS. Al Maidah: 17).

Di ayat yang lain, Allah juga berfirman,

كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ (٧٣)

"Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada sembahan yang hak selain dari Allah yang Esa." (QS. Al Maaidah: 73).

Beriman kepada Allah akan tetapi juga beriman kepada tuhan selain Allah itu adalah kesyrikan kepada Allah dan itu merupakan kekufuran. Maka tidak ada bedanya antara orang-orang-orang kafir Quraisy dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, tidak ada beda di antara mereka, karena mereka adalah orang-orang yang musyrik kepada Allah. Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam firman-Nya,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ (٦)

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk." (QS. Al Bayyinah: 6).

d. Dengan adanya penyimpangan tersebut, Allah pun mengutus nabi kita, Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam untuk memperjuangkan, mendakwahkan, dan menegakkan Islam sehingga Islam menjadi agama yang paling tinggi.

Allah ta'ala berfirman,

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ (٩)

"Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci." (Ash Shaf: 9).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah menyatakan,

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

"Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang pun dari umat ini yang mendengarku, baik dia adalah serang Yahudi atau Nasrani, kemudian meninggal dan tidak beriman kepada ajaranku, niscaya dia termasuk ke dalam penduduk neraka."[9]

Luntur dengan Sendirinya

Demikianlah, para pembaca yang dimuliakan Allah, uraian mengenai kebatilan pluralisme. Paham ini sebenarnya berusaha untuk melunturkan akidah kaum muslimin dengan menggiring secara perlahan-lahan, menggunakan bahasa yang indah memukau, yang dibungkus dengan slogan toleransi beragama. Namun, pada hakekatnya, hal tersebut merupakan upaya untuk menanggalkan akidah kaum muslimin, karena keimanan seorang yang mengamini paham tersebut bisa luntur dengan sendirinya, tanpa intervensi (paksaan) dari pihak lain. Wal 'iyadzu billah.

Jika dikatakan bahwa pluralisme ini bertujuan untuk menghilangkan berbagai konflik kekerasan antar umat beragama yang kerap terjadi karena enggan menghargai keberagaman. Maka hal ini dapat dijawab bahwa Islam telah mencontohkan bagaimana hidup saling menghormati dan menghargai antar sesama pemeluk agama yang berbeda-beda. Sejarah telah mencatat kegemilangan Islam dalam hal ini. Islam menghargai keberagaman, tapi hal itu bukan berarti kaum muslimin harus menanggalkan akidah bahwa agama Islam adalah agama yang benar dan memberikan keselamatan bagi umat manusia. Konsep menghargai keberagaman (pluralitas) tanpa membenarkan pluralisme itupun banyak ditunjukkan dalam ayat-ayat yang menerangkan tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Dalam konsep Islam, siapa yang mau beriman, silahkan beriman, siapa yang mau kafir, silahkan kafir. Akibatnya tanggung sendiri.[10][11]

Wallahul muwaffiq.

Buaran Indah, Tangerang, Syawwal 1431 H.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id


 

[1] Paham yang menyatakan semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau, dalam pengertian yang lain, pengusungnya menyatakan bahwa agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga-karena kerelatifannya- maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. [Pluralisme Agama: Musuh Agama-agama; Dr. Adian Husaini].

[2] Tafsir al Quran al 'Azhim; Maktabah Asy Syamilah.

[3] Mengenai hal tersebut, pembaca dapat melihat surat Al A'raaf dimulai dari ayat 59 dst.

[4] Istilah "agama samawi" (agama langit) ini pun sebenarnya merupakan istilah yang rancu, karena pada hakekatnya agama yang dibawa oleh nabi Musa dan Isa adalah agama Islam, tapi dengan bentuk syari'at yang berbeda satu sama lainnya. Rasulullah Muhammad pun datang kemudian untuk menyempurnakan ajaran keduanya. Syaikh Shalih alusy Syaikh hafizhahullah memiliki pemaparan ringkas yang sangat bermanfaat dan disertai berbagai dalil mengenai hal ini dalam Syarh Fadl al Islam hlm. 57-59.

[5] Para pengusung paham ini sering menafsirkan ayat-ayat Alquran tanpa ukuran metodologis yang dapat dipertanggungjawabkan secara disiplin ilmu tafsir. Mazhab kontekstual ditekankan untuk sejumlah teks yang diduga antikemajemukan beragama. Dan, di sisi lain, mazhab literal diterapkan untuk ayat-ayat yang mendukung pluralisme. [Pluralisme Agama; Tiar Anwar Bachtiar].

[6] Pembaca yang berkeinginan melihat lebih lanjut analisa berbagai ayat yang dipelintir oleh kaum pluralis dapat melihat artikel saudara kami, Abu Mushlih, yang berjudul Tumbangnya Pokok-Pokok Pluralisme dan artikel Bapak Muhammad Nurdin Sarim yang berjudul Telaah Kritis Pluralisme Agama.

[7] Telaah Kritis Pluralisme Agama hlm. 9; Muhammad Nurdin Sarim.

[8] Tafsir al Quran al 'Azhim; Maktabah Asy Syamilah.

[9] HR. Muslim: 153.

[10] Al Kahfi: 29.

[11] Pluralisme Agama: Musuh Agama-agama.